Senin, 21 November 2011

WAJAH DUNIA PENDIDIKAN di INDONESIA

Nama : Triadi Syahputra Saragih
NIM : 309 122 058

Latar Belakang
Pendidikan merupakan hak setiap warga Negara . idealnya setiap orang berhak dan wajib untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sejak awal pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan tuntutan pembukaan UUD 1945. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia secara manusiawi agar menjadi manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu jalan untuk menjadikan manusia sehingga berguna bagi bangsa dan negaranya serta orang disekitarnya. Suatu Negara yang maju dapat berkembang dan terus berkembang itu disebabkan karena memiliki sumber daya manusia yang maju, yang memiliki terobosan terobosan besar untuk kemajuan bangsanya. Sistem pendidikan yang baik merupakan syarat utama untuk membentuk sumber daya manusia yang memiliki intelektual serta mampu membentuk karakter pribadi yang baik. Generasi muda yang merupakan tulang punggung penerus bangsa harus ditempah dengan system pendidikan yang sesuai agar nantinya dapat memajukan bangsanya dan diakui oleh Negara lain. Apa bila dalam suatu Negara memiliki sistem pendidikan yang baik maka secara otomatis sumber daya manusia yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik juga, begitu juga sebaliknya apa bila dalam suatu negara sistem pendidikan yang digunakan tidak sesuai dengan koridor yang berlaku dinegaranya maka sumber daya manusia yang dihasilkan juga akan tidak baik.
Pertumbuhan ekonomi merupakan sasaran utama yang harus dicapai bangsa ini sehingga pemerintah mengenyampingkan pendidikan. Seyogianya pendidikan harus diutamakan untuk memajukan bangsa karena dengan pendidikanlah sebuah bangsa dapat membangun bangsanya. Dengan kemujuan sumber daya manusia maka hal ini dapat diwujudkan terhadap pembangunan dinegaranya. Fenomena ini yang ingin penulis kaji dalam pembuatan makalah ini. Dimana system pendidikan Indonesia yang semula bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ( Pembukaan UUD 1945), hanya sekedar semboyan yang penerapannnya masih belum tampak dalam kurun waktu saat ini. Dimana pendidikan hanya dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia, belum meratanya sarana dan prasarana pendidikan, serta permasalahan kualitas dari tenaga pengajar yang masih jauh dari harapan akibat carut marutnya cara belajar calon guru yang hanya bermodalkan gelar sarjana pendidikan tanpa dibarengi dengan penguasaan cara mengajar. Sungguh ironi bila bangsa ini mengharapkan generasi muda yang berkualitas jika system pendidikan masih belum sesuai dengan keadaan yang justru menimbulkan berbagai masalah dan kesenjangan. Belum lagi kurangnya perhatian pemerintah terhadap para anak-anak indonesia yang memiliki prestasi dunia sehingga mereka memutuskan untuk pindah keluar negeri karena pemerintah tidak dapat menjamin kesejahteraan hidup mereka. Apa lagi dukungan pemerintah masih sangat kecil untuk dapat mengembangkan teknologi melalui riset-riset para ilmuwan yang juga menambah parah bahwa pendidikan dijadikan nomor sekian dinegeri tercinta ini. Beberapa masalah pendidikan ini yang akan dikaji dalam pembuatan makalah ini, semoga setelah membaca makalah ini system pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik lagi nantinya.


Pembahasan
a.      Sarana dan prasarana pendidikan yang masih jauh dari harapan
Jika bicara tentang bagaimana pendidikan yang baik tentu faktor utama yang harus dipersiapkan adalah mengenai sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar seperti : gedung sekolah, buku, laboratorium, perpustakaan serta perlengkapan yang mendukung lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendiknas tahun 2009 mengenai kondisi sekolah di Indonesia, masih banyak keprihatinan yang harus diperhatikan oleh segenap bangsa dan tanah air. Hanya bergantung pada peran pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur pendidikan di Indonesia tidak akan cukup untuk mencapai tingkat pendidikan maksimum. Pada tahun 2009, terdapat 114,228 sekolah dasar, 28,777 sekolah menengah pertama dan hanya 18,354 sekolah menengah di Indonesia (Data Balitbang Depdiknas (2003). Hal ini mencerminkan kondisi terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia. Walaupun jumlahnya telah meningkat di tahun 2011, namun kemungkinan peningkatan sarana dan prasarana untuk tingkat sekolah menengah sangat kecil, karena fokus pemerintah dan masyarakat pada umumnya saat ini masih pada tingkat sekolah dasar. Tetapi kondisi saat ini banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya. Apabila kita mengkaji dengan jumlah anak Indonesia serta luasnya negeri ini maka jumlah sekolah yang ada saat ini tentunya masih kurang memadai. Begitu signifikannya perbedaan sarana dan prasarana pendidikan antara wilayah perkotaan dengan desa juga memicu kecemburuan social bagi siwa itu sendiri. Dimana sarana dan prasarana pendidikan dikota lebih lengkap sehingga hal ini menyebabkan anak dari desa berlomba lomba untuk pergi bersekolah kekota, apa lagi bila keadaan orang tuanya mampu maka ia tidak akan mau bersekolah dikampung.
Melihat apa yang terjadi dengan sarana dan prasarana yang ada saat ini, maka sungguh ironi jika mengiginkan program wajib belajar 12 tahun sampai sekolah menengah. Bila kita mengaca lebih jauh dengan sarana pendidikan yang ada di Negara lain seperti Negara tetangga Malaysia, maka kita akan melihat begitu senjangnya infrastruktur pendidikan yang ada dinegara mereka dengan Negara ini. Salah satu contoh adalah mengenai kondisi sekolah yang ada didaerah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia dikalimantan. Dimana sekolah yang ada dimalaysia terlihat megah dengan bangunan bertingkat dan bersih tetapi kondisi sekolah yang ada diindonesia terlihat seperti kandang kambing yang ala kadarnya. Begitu juga dengan masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang ada di Indonesia, selain jumlah yang terbatas biaya untuk melanjutkan perguruan tinggi masih tinggi sehingga hanya sebagian orang yang memiliki kesempatan untuk bisa merasakannya. Memang perguruan tinggi negeri masih memiliki biaya yang relative terjangkau, tetapi porsi yang diberikan masih lah sangat kecil jika dibandingkan dengan tamatan sekolah menengah yang mencoba untuk melanjutkan keperrguruan tinggi. Mereka harus bersaing dengan yang lain bahkan sebagian ada yang menggunakan jasa calo yang akan memasukkan mereka keperguruan tinggi negeri dengan imbalan lembaran rupiah. Sehingga terkadang hal ini menyerukan dengan lantang bahwa sesungguhnya dengan uang kita dapat membeli apa saja yang kita inginkan.

b.      Standardisasi Pendidikan yang tidak relevan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya mengutamakan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Memang dengan adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun sangat disayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menempuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah diikuti oleh peserta didik. Sedangkan beberapa bidang studi lain tidak ikut diperhitungkan. Dan melihat fakta yang terjadi selama ini mengenai UAN ini pada umumnya yang tidak lulus itu bukannya siswa yang memang tidak pintar tetapi hanya siswa yang kurang beruntung. Sebagai contoh banyak siswa yang sebenarnya pintar tetapi akibat salah mengisi identitas ataupun kesalahan didalam melingkari kemudian menyebabkan dia tidak dapat lulus. Belum lagi dengan tuntutan nilai standar kelulusan yang semakin tahun semakin tinggi memaksa setiap pihak sekolah baik guru, kepala sekolah maupun dinas pendidikan harus memutar otak untuk menjawab tuntutan pemerintahan yang menginginkan kelulusan bagi seluruh pelajar demi mendapatkan citra yang baik dari pemerintahan.
Maka untuk itu tidak jarang pihak sekolah melakukan kecurangan dalam UAN dengan memberikan jawaban kepada siswa agar nantinya dapat lulus dengan baik. Sehingga tidak heran bila angka kelulusan diIndonesia tinggi dengan nilai yang rata rata memuaskan bukan karena memang kualitas yang sama rata melainkan hanya merupakan manipulasi dari beberapa pihak yang berwenang. Dan yang lebih mengherankannya lagi walaupun kebijakan ini telah beberapa kali menuai protes dari berbagai pihak tetapi pihak departemen pendidikan Indonesia tidak menghiraukannya. Mereka seolah olah menganggap hal ini penting untuk mengukur keberhasilan pendidikan diIndonesia.sehinngga UAN masih tetap dilaksanakan hingga kini. Selain masalah UAN dengan berdirinya sekolah yang memiliki standar internasiona, kelas bilingual, sekolah unggulan juga menambah parah buruknya standarisasi pendidikan ini. Selain karena hal ini dapat menimbulkan perbedaan status pastinya akan menimbulkan kecemburuan antara siswa yang bersekolah di sekolah biasa dengan sekolah internasional tersebut. Yang lebih menghebohkan lagi annggaran sekolah internasional sangat tinggi. Sekolah pemerintah berembel-embel standar internasional dianggap memboroskan keuangan negara. Sebab, biaya yang dikeluarkan APBN jauh di atas sekolah standar nasional, meski jumlah sekolah 'standar internasional' jauh lebih sedikit. Menurut rencana anggaran 2012 bidang pendidikan yang dikutip Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran , alokasi anggaran pada tahun 2012 sebesar Rp 242 miliar (sekolah standar internasional), dan Rp 108 miliar untuk sekolah standar (REPUBLIKA.CO.ID, PADANG).
Pemerintah SBY memang tidak adil, dan sangat diskirminasi dalam menerapkan kebijakan anggaran pendidikan untuk masyarakat. Untuk sekolah 'orang-orang kaya'” yang bernama sekolah dasar bertaraf internasional, pemerintah SBY menyediakan alokasi anggaran untuk satu SD sebesar Rp 306 juta untuk satu sekolah. Sedangkan, pendidikan untuk sekolah 'orang-orang miskin', yang bernama sekolah dasar bertaraf nasional, pemerintah SBY hanya menyediakan alokasi anggaran sebesar Rp 216 juta untuk SD. Akibat diskriminasi anggaran tersebut, banyak sekolah standar nasional berlomba-lomba menaikan standar bukan karena mengejar kualitas melainkan supaya mendapat anggaran lebih banyak. "Akibatnya Pemda berlomba-lomba membuat sekolah yang bertaraf internasional (SBI/RSBI) agar mendapat alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Dan, hal ini akan mengakibatkan pemda lebih mengutamakan memberikan alokasi anggaran (APBD) untuk sekolah bertaraf internasional dan mengabaikan sekolah-sekolah yang sangat terpencil yang sebetulnya sangat membutuhkan. Lagi lagi permasalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi mengakibatkan citra pendidikan kita semakin buruk. Seolah olah hanya sekedar “cap” baik yanh diinginkan pemerintah tetapi bagaimana mengenai kualitas sumber daya manusia yang dihasilkannya tidak dipikirkan.
C. Kualitas guru yang belum memadai
Selain karena buruknya infrastruktur di Indonesia, ternyata kualitas guru yang ada saat ini juga masih jauh dari harapan. Guru yang seharusnya dapat menjadi sebagai inspirasi bagi siswa untuk mengembangkan bakatnya menjadi orang yang dianggap tidak memiliki kelayakan sebagai guru. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Jadi jangan heran bila melihat tamatan guru saat ini tidak memiliki basic sebagai pengajar. Sebab untuk saat ini yang terpenting bukan lah kualitas untuk menguasai segala kompetensi untuk menjadi sebagai tenaga pengajar, melainkan gelar sarjana pendidikan yang lebih diutamakan. Sehingga para sarjana saat ini kebanyakan mencari pekerjaan bukannya menciptakan lapangan pekerjaan. Untuk menempuh gelar sarjana juga tidak sesulit seperti dahulu dan tamatan sarjana saat ini tidak sama kualitas nya dengan tamatan sarjana di era yang dahulu. Sehingga setelah tamat dengan gelar sarjana pendidikan bukannya menjadikan guru sebagai tujuan utama, hal ini dikarenakan mereka masih mengangap diri mereka belum mampu untuk menjadi seorang guru. Sungguh hal yang sangat memprihatinkan bagi pendidikan kita.
Selain itu menurut (munif, 157) ada tiga guru yaitu Gurunya manusia adalah guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas akan berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tidak boleh berhenti untuk belajar.
Gurunya manusia memiliki karakter yang mulia, budi pekerti, moral, dan etika yang luhur, serta memiliki kompetensi yang berkualitas. Dengan demikian, gurunya manusia bukanlah guru robot yang kinerjanya mirip seperti robot. Guru robot hanya peduli pada beban materi yang harus disampaikan kepada para murid di waktu kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan.
Gurunya manusia juga tidak berkarakter materialis. Guru materialistis hanya mementingkan materi-finansial belaka. Guru materialistis adalah guru yang selalu melakukan perhitungan, hal ini seperti yang dilakukan oleh para pelaku bisnis. Guru seperti itu hanya mengincar dan menghitung berapa besar gaji yang diberikan sehingga terkadang menimbulkan ketidakikhlasan dalam mendidik para murid. Saat ini mencari sosok guru yang berada pada tipe gurunya manusia sangatlah sulit ditemui.
Masih kurangnya kesejahteraan guru juga mrenjadi persoalan utama yang sangat kompleks menurunkan kualits seorang guru. Meskipun untuk saat ini telah ada berbagai cara untuk mengatasinya seperti sertifikasi dan tunjangan gaji ke-13. Tapi semua ini hanya berlaku bagi guru yang telah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bagaimana dengan guru yang masih berstatus sebagai guru honorer yang berharap dari kebijkan sekolah saja? Apalagi untuk saat ini penerimaan PNS bagi goru sedang di moratorium hingga 3 tahun kedepan dan mau diapakan seluruh tamatan guru hingga 3 tahun kedepan, masih menjadi pertanyaan yang belum memiliki jawaban sampai saat ini. Hal ini sungguh bertolaj belakang dengan kesejahteraan para anggota dewan yang “ sedikit kerja tapi banyak mintanya”. Mereka dapat dengan mudahnya untuk mengaakan rapat kemudian menaikkan gaji mereka. Tapi bagi guru hal itu semuanya masih tergantung pada pemerintahan. Hal ini sangar memprihatinkan karena guru merupakan salah satu elemen terpenting didalam membentul generasi muda yang memiliki daya saing dan berkualitas.
D. Kurangnya Perhatian Pemerintah Terhadap Ilmuwan Indonesia
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perhatian pemerintah yang masih sangat kecil bagi perkembangan dunia penelitian di Indonesia sehingga banyak ilmuwan yang mengurungkan niatnya untuk melakukan suatu riset dikarenakan dana yang diperlukan untuk suatu riset tidak sedikit. Tetapi dana yang dikucurkan pemerintah sangatlah minim hanya sekitar 0,3 % dari total APBN tahun 1999-2007 yang harus dibagi kepada ribuan ilmuwan lainnya. Fasilitas yang diberikan juga sangat minim sehingga peralatan yang ada sudah tidak sesuai dengan zaman. Selain fasilitas penelitian yang kurang, untuk mendapatkan hak paten di Indonesia juga sangat sulit, berbelit-belit, dan lama, bisa sampai sembilan tahun. Padahal, paten adalah kebanggaan dan pengakuan terhadap peneliti sekaligus tambahan keuangan dari royalti yang dia dapatkan.  Jika melihat kondisi ini bagaimana bisa ilmuwan kita dapat mengembangkan teknologi mutakhir jika perhatian pemerintah sangat kecil untuk ini. Apabila kita melihat Negara lain seperti Amerika, pemerintahannya tidak tanggung tanggung memberikan fasilitas terbaik untuk mendukung kenerja dari para ilmueannya sehingga teknologi mereka terus bersaing dengan Negara Negara lain. Hal yang terjadi di Indonesia tentunya membuat para ilmuwan Indonesia merasa tidak dihargai oleh pemerintahnya sendiri.
Ditahun 2008 pemerintahan SBY telah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan bea siswa hingga jenjang doctor bagi para pemenang olimpiade. Kenyataannya, untuk mendapat beasiswa itu butuh waktu lama dan berbelit-belit sehingga banyak yang mencari beasiswa dari luar negeri. Hal ini sekali lagi menegaskan aturan dinegeri ini bahwa “ bila bisa dipersulit mengapa harus dipermudah” hal yang tidak masuk diakal tentunya. Mahalnya biaya pendidikan juga menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka anak yang tidak dapat bersekolah. Walaupun telah ada dana bos, tetapi itu masih hanya terbatas pada tingkatan sekolah tingkat pertama. Banyak sebenarnya anak Indonesia yang memiliki potensi tetapi karena tidak memiliki biaya sehingga potensi yang dimilikinya pun menjadi tidak berkembang. Meskipun pemerintah telah memberikan bea siswa bagi anak yang tidak mampu dan berprestasi, tetapi fakta dilapangan masih belum tepat sasaran.
Sesuai dengan aliran filsafat prenalisme yang memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan masalah yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya. Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik kea rah kematangan. Matang dalam arti hiodup akalnya. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, seharusnya dapat mempersiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam  menggali potensi yang ada pada dirinya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan. Bagaimana ini bisa tercapai jika kualitas guru kita saat ini masih jauh dari kata baik. Masih banyak kita temui guru yang tidak memiliki kompetensi sebagai guru dan akhirnya dijadikan/dipaksakan untuk menjadi guru yang kemudian menghasilkan guru yang tidak memiliki kemampuan untuk mendidik. Fakta diatas menggambarkan tentang bagaimana sebenarnya wajah pendidikan di Indonesia saat ini. Kondisi yang sungguh memprihatinkan disaat bangsa ini ingin menjadi bangsa yang maju. Disaat bangsa ini ingin mengejar segala ketertinggalannya, disaat bangsa sedang berjuang mewujudkan cita para pejuang untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa maju, sejahtera dan diakui oleh bangsa lain. Tetapi kenyataannya generasi muda yang diharapkan tidak dibarengi dengan kualitas yang sesuai dan akibatnya banyak tamatan yang dilahirkan tidak memiliki kompetensi yang memadai. Bila kita kembali mengingat tujuan pendidikan nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, fakta yang terjadi dilapangan adalah tujuan itu hanya diarahkan kepada sebagian orang dan belum menyeluruh dirasakan seluruh anak bangsa ini. Semoga dikemudian hari segala kekurangan yang ada saat ini dapat di rubah dan kemudian lebih deperbaiki lagi untuk kemudia menghasilkan sumber daya manusia yang handal dalam berbagai bidang. Dan kemudian menjadikan bangsa ini semakin dikenal oleh Negara lain karena kualitas SDM yang dimiliki oleh bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar