Senin, 28 November 2011

PENDIDIKAN DARI FILSAFAT ILMU DAN KEBUDAYAAN


Nama              : Nanda Rahmatul Fadilah Dalimunthe
Nim                 : 309 122 047
M.Kuliah        : Filsafat Pendidikan


Latar Belakang        
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia mempunyai rasa ingin tahu rahasia alam dengan menggunakan pengamatan dan penggunaan pengalaman, tetapi sering tidak dapat menjawab masalah dan tidak memuaskan. Pada manusia kuno untuk memuaskan diri, mereka mencoba membuat jawaban sendiri. Misalnya apakah pelangi itu? Mereka tidak dapat menjawab itu tetapi mereka menjawab dengan menagatakan bahwa pelangi adalah selendang bidadari. Manusia juga mempunyai naluri seperti tumbuhan dan hewan, tetapi mempunyai akal-budi, sehingga rasa ingin tahu itu tidak tetap sepanjang zaman. Manusia mempunyai rasa ingin tahu yang berkembang. Apabila suatu masalah dapat dipecahkan, maka akan timbul massalah lain yang menunggu pemecahannya. Manusia akan bertanya terus setelah tahu apanya, maka ingin tahu dan mengapa. Manusia mampu menggunakan pengetahuan yang telah lama diperoleh untuk dikombinasikan dengan pengetahuan yang baru, menjadi pengetahuan yang lebih baru lagi. Hal yang demikian berlangsung selama berabad-abad, dan bahkan selamanya, sehingga terjadi akumulasi pengetahuan. Manusia purba hidup dalam gua-gua, tetapi berkat pengetahuannya yang terus bertambah, maka manusia modern bertempat tinggal dalam gedung-gedung yang kokoh dan indah seperti saat ini. Ilmu pengetahuan itu berkembang kecuali untuk memenuhi kepuasan manusia, juga digunakan untuk keperluan praktis, agar hidupnya lebih mudah dan menyenangkan.     
Isi
Kebudayaan sangat lah berperan dalam pembentukan pendidikan. Negara Indonesia ini sendiri meruakan Negara yang berbudaya yang memiliki bermacam ragam kebuayaannya yang digunakan masyarakat sebagai landasan pendidikan dasar.  Maka dari itu pendidikan tanpa didasari oleh nilai-nilai kebudayaan tidak akan menjadikan pendidikan tersebut sukses.
Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter, serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang diinginkan tercapai. Pendidikan ini dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan dengan enkulturasi semenjak kecil didalam lingkungan keluarganya. Proses enkulturasi bersifat kompleks dan berlangsung hidup, tetapi proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan. Enkulturasi  terjadi secara agak dipaksakan selama awal masa kanak-kanak tetapi karena mereka bertambah dewasa akan belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak nilai-nilai dari masyarakatnya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan. Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri.
Bagi Herskovits, pendidikan adalah “directed learning” dan persekolahan adalah “formalized learning”. Dalam literature pendidikan dewasa ini dikenal istilah pendidikan formal, informal dan non-formal. Pendidikan formal adalah system pendidikan yang disusun secara hierarkis dan berjenjang secara kronologi mulai dari seolah dasar samapai universitas dan disamping pendidikan akademis umum termasuk pula bermacam-macamprogram dan lembaga untuk pendidikan kejuruan. Pendidikan Informal adalah pendidikan seumur hidup yang memungkinkan individu memperoleh sikap-sikap, keterampilan-keterampilan dan pengaruh-pengaruh yang ada di lingkungannya, dari keluarga dn tetangga. Pendidikan non-formal merupakan kegiatan terorganisasi di luar kerangka sekolah formal atau system universitas yang ada. Pendidikan non-formal memusatkan perhatian kepada perbaikan kehidupan social dan kemampuan dalam pekerjaan.
Margared Mead mengenai pendidikan pendidikan dalam masyarakat sederhana (1942), dimana ia memebedakan antara learning cultures dan teaching culture atau kebudayaan belajar dan kebudayaan mengajar. Dalam golongan yang pertama, warga masyarakatnya belajar dengan cara yang tidak resmi yaitu dengan berperan serta dalam kehidupan rutin sehari-hari. Dimana mereka memperoleh segala pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan untuk dapat hidup dengan layak dalam masyaarakat dan kebudayaan mereka sendiri. Dala golongan yang kedua, warga masyarakat mendapat pelajaran dari warga-warga lain yang lebih tahu, yang sering kali dilakukan dalam pranata-pranata pendidikan yang resmi, dimana mereka memperoleh segaa pengetahuan kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan. 
Dalam renungan Leo Tolstoy pendidikan adalah kebudayaan, persoalan pendidikan yang rumit memicu berbagai tingkat dalam berbagai cara, pentingnya masalah pendidikan hingga para filsuf pertama mengembangkan teori-teori formal yang  mengaitkan pendidikan dengan konsepsi politik serta hakikat manusia, ditingkat yang kurang formal orangtua bertanggung jawab mengembangkan prinsip pengasuhan anak dalam masyarakat serta nilai-nilai anak di masa depan sebagai individu dan warganegara. Kedua masalah ini mempunyai konflik yang khusus di masyarakat yang kompleks menuntut cara-cara formal untuk menyalurkan perbaharuan tentang kebudayaan serta pentingnya meneliti fungsi pendidikan dalam kebudayaan. Asumsi ini muncul karena frustasi Tolstoy yang menjangkt di dunia pendidikan secara objektif, Tolstoy melihat usaha pendidikan berlangsung secara otomatis yang terlihat dengan tidak memperdulikan saranan-saranan serta tujuan-tujuan yang sejati yang terbelenggu oleh pemikran-pemikiran dan tata cara tradisional, seorang murid telah diabaikan sebagai factor dalam pemikiran tentang pendidikan.
Tolstoy mendekati pendidikan tanpa akhir dan kepastian, menurutnya kebudayaan dijelaskan dengan berbagai konsep. Menurutnya kebudayaan merupakan sebuah prinsip liberar humanistic yang menjelaskan kesetaraan semua nmanusia dan pentingnya realisasi diri yang tidak mempunyai arah yang pasti bagi kegiatan manusia. Dia melihat ketidak pastian tentang prinsip ini. Hendaknya kita tidak melihat kembali mengenai prinsip pendidikan yang mengarah kepada nilai-nilai tradisional, tapi kita melihat semangat dari kebebasan manusia tentang pendidikan yang mempunyai arah sendiri, konsep ini merupakan konsep radikal yang merupakan titik tolak pendidik pragmatis amerika, tujuan pendidikan dalam ini dikebumikan menjadi kegiatan yang mempunyai tujuan pragmatis yang memiliki dampak yang jelas yang sangat bergantungt pada akal sehat.  
System pendidikan saat ini berorientasi pada pencapaian standart anga yang individual. Kompetensi yang ditawarkan dalam pendidikan sangat individual, tidak bersifat komunl. Pendidikan yang sehatrusnya memperkuat relasi social yang diambil dari unsure-unsur yang sangat local telah berubah menjadi penguatan individual.

Masalah pertama yang dihadapi oleh pendidikan ialah menetapkan nilai-nilai budaya apa saja yang harus dikembangkan dalam diri generasi kita. Pendidikan yang dapat diartikan secara luas sebagai usaha yang sadar dan sistematis dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran, kepribadian dan kemampuan fisiknya, mengharuskan kita setiap waktu untuk mengkaji kembali masalah tersebut. Hal ini harus dilakukan disebabkan oleh dua hal yakni, pertam nilai-nilai budaya yang harus dikembangkan dalam diri anak didik kita harus relevan dengan kurun zaman di mana anak itu akan hidup kelak dan kedua, usaha pendidikan yang sadar dan sistematis mengharuskan kita untuk lebih eksplissit dan defenitis tentang hakikat dan nilai-nilai budaya tersebut. Keharusan kita untuk bersifat eksplisit dan defenitif ini disebabkan gejala kebudayaan. Masalah ini lebih serius lagi kalau diperhatikan bahwa paada kenyataannya nilai-nilai budaya yang disampaikan lewat proses pendidikan bukan nilai-nilai   budaya yang diperlukan oleh anak didik kita kelak dimana dia akan dewasa dan berfungsi dalam masyarakat melainkan nilai-nilai konvensional yang sekarang berlaku yang dialami dan dipraktekkan oleh orangtua dan guru merek selaku pendidik.

Untuk menetukan nilai-nilai mana yang patut mendapatkan perhatian kita sekarang ini maka pertama sekali kita haru dapat memperkirakan scenario masyarakat Indonesia di masa yang akan dating tersebut, memperhatiikan indicator dan perkembangan yang sekarang ada, cenderung untuk mempunyai karakteristik-kerakteristik sebagai berikut : (1) memperhatiakan tujuan dan strategi pembangunan nasional kiita maka masyarakat Indonesia akan beralih dari masyarakat tradisional tang agraris menjadi masyarakat modern yang urban dan bersifat industry (2) Pengembangan kebudayaan kita ditujukan kearah perwujudan peradaban yang bersifat khas berdasarkan filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila.   
           
Karakteristik yang pertama mengharuskan kita untuk memusatkan perhatian kepada nilai-nilai yang relevan dengan masyarakat modern yang sedang dikembangkan. Dibandingkan dengan masyarakat tradisional maka masyarakat modern mempunyai indicator-indikator sebagai berikut : (a) lebih bersifat analitik  di mana sebagian besar aspek kehidupan masyarakat didasarkan kepada asas efisiensi baik yang bersifat teknis maupun ekonomis dan (b) lebih bersifat individual daripada komunal terutama ditinjau dari segi pengembangan potensi manusiawi dan masalah survival.
           
Indicator pertama memberikan tempat yang penting kepada nilai teori dan nilai ekonomi. Nilai ekonomi ini terutama sekali berkaitan erat dengan aspek penalaran, ilmu dan teknologi. Sedangkan nilai ekonomi berpusat kepada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara lebih efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi yang bertanggung jawab umpamanya pola konsumsi masyarakat. Indicator menimbulkan pergeseran dalam nilai social dan nilai kekuasaan (politik). Kedua nilai ini harus lebih berorientasi kepada kepercayaan pada diri sendiri serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri.    
Pendidikan
            Menurut bahasa belanda, pendidikan berasal dari kata Ofvooden yang artinya member makan. Menurut pemahaman mereka sesuatu yang diberi makan akan tumbuh dan berkembang. Selain makanan jasmani, rohani juga perlu di beri makan agar berkembang dan ada peningkatan. Makanan rohani diberi berupa pendidikan dan pengajaran, berupa pemberian pengetahuan, latihn, dan pemberi pengalaman.  Dalam bahasa inggris, pendidikan adalah education yang artinya adalah the process of training and developing knowledge, skill, mind, character, etc., by formal schooling, teaching, training. (neufeldt and guralnik, 1996). Pengertian ini menekankan bahwa pendidikan tidak hanya mencakup nalar atau intelektual saja, melainkan mencakup pengembangan moral atau kepribadian, karakter atau sikap anak yang meliputi berbagai kecerdasan yang dapat dikembangkan dalam kehidupan anak sebagai manusia. Dalam pengembangan diri anak sebagai manusia dalam kegiatan pendidikan terjadi interaksi dengan lingkungannya yang berlangsung secara formal.  Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subyektif, tetapi harus kedua-duanya.
            Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana pendidikan merupakan usaha sadar dan penuh tanggung jawab dari orang dewasa dalam membimbing, memimpin, dan mengarahkan anak dengan berbagai problema atau persoalan dan pertanyaan yang mungkin timbul dalam pelaksanaannya.Pendidikan juga dapat diartikan sebagai hasil, dimana pendidikan itu merupakan wahana untuk membawa individu mencapai tingkat perkembangan optimal sesuai dengan potensi pribadinya sehingga menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakiki dan ciri-ciri kemanusiannya.
Ilmu
Filsafat yang merupakan ilmu dari segala ilmu yang akan mengajarkan pendidikan yang mencakup kebudayaannya dalam kehidupan manusia. Kata filsafat yang dalam bahasa inggris Philosophia, dan bahasa arab falsafash, yang keduanya berasal dari bahasa Yunani yakni, Philosophia. Philosophia terdiri atas dua suku kata yakni philein yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Sehingga secara etimologis filsafat berarti cinta kebijaksanaan dalam arti yang sedalam-dalamnya. Pengertina terminology adalah arti yang dikandung oleh istilah atau kata filsafat itu sendiri.
Menurut beberapa ahli filsafat memiliki pengertian yang berbeda-beda, antara lain; Aristoteles yang mengemukakan filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi politik, dan estetika. Menurut langeveld filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah yang mengenai makna keadaan, Tuhan, keabadian dan kebebasan. Menurut Notonagoro filsafat itu menelaah hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya yang mutlak dan yang terdalam, yang dapat dan yang tidak berubah, yang disebut hakikat. Dari bermacam pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai pengertian filsafat maka dapat diambil kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam sampai pada hakikatnya dengan menggunakan akal atau pikiran manusia. Filsafat bukan mempersoalkan fenomena atau gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa, akan tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu gejala atau fenomena atau peristiwa.
Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!” filsuf itu menarik nafas panjang dan berpantun :
            Ada orang yang tahu ditahunya
            Ada orang yang tahu di tidaktahunya
            Ada orang yang tidak tahu di tahunya
            Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya
“bagaimanakah caranya agar saya mendapat pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu, penuh hasrat dalam ketidaktahuannya.
“mudah saja, “jawab filsuf itu, “ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Demikia juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri : apakah sebenarnya yang kita ketahui tentang ilmu? Apakah ciri- cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahaun lainnya yang bukan ilmu? Bagaimana cara kita mengetahui bahwa ilmu itu merupakan pengetahuan yang benar? Kriteri apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Seperti yang sering kita dengar kalimat pengetahuan belum pasti sebuah ilmu namun ilmu itu sudah pasti lah pengetahuan.   
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaxy. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya darisegi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam pandangan pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu ikatan ilmu dengan moral, ikatan ilmu dengan agama, ikatan ilmu dengan kebudayaan, dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagian kepada dirinya.
Sering kita melihat seorang ilmuan, misal ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu social. Lulusan IPA merasa lebih tinggi atau hebat dari lulusan IPS. Atau yang lebih sedih lagi, seorang ilmuan yang memamndang rendah terhadap pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada dibawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah kebintang-bintang dan tercengang : lho, kok massih ada langit diuar tempurung kita. Daan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri.
Sokrates menyatakan, bahwa saya tak tahu apa-apa. Kerendahhatian sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekadar basa-basi. Seorang yang berpikir filsafat selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang kedua yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan criteria tersebut dilakukan? Apakah criteria itu benar? Lalu benar itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
Secara terus terang tidak mungkin kita menerima pengetahuan secara keseluruhan begitu saja, dan bahkan tidak yakin kepada tiitk awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mandasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi dan ini lah yang merupakan karakteristik berpikir filsafat yang ketiga yaitu sifat spekulatif. Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat : bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bias diadakan? Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bias memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Kita harus menyadari bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulassi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan criteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentan kesenian.
Kebudayaan
Makna kebudayaan, secara sederhana berarti semua cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota masyarakat. Dari perspektif lain kita bias memandang suatu kebudayaan sebagai perilaku yang dipelajari dan dialami bersama (pikiran, tindakan, perasaan) dari suatu masyarakat tertentu termasuk artefak-artefaknya, dipelajari dalam arti bahwa perilaku tersebut disampaikan secara social, bukan diwariskan secara genetis dan dialami bersama dalam arti dipraktekkan baik oleh seluruh anggota masyarakat ataupun beberapa kelompok dalam suatu masyarakat. Pada dasarnya gejala kebdayaan dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan, gagasan, dan hasil yang diperoleh, dipelajari dan dialami.
            Kebudayaan merupakan gabungan keseluruhan kesatuan yang ada dan tersusun secara unik sehingga dapat dipahami dan mengingat masyarakat pembentuknya. Setiap kebudayaan memiliki konfigurassi yang cocok dengan sikap-sikap dan keprcayaan dasar dari masyarakat, sehingga pada akhirnya embentuk system yang independen, dimana koherensinya lebih dapat dirasakan dari pada dipikirkan pembentuknya. Kebudayaan dapat bersifat sistemati8 sehingga dapat menjadi selektif, menciptkan dan menyesuaikan menurut dasar-dasar dari konfigurasi tertentu. Kebudayaan akan lancer dan berkembang apabila terciptanya suatu integrasi yang saling berhubungan.
Dalam kebudayaan terdapat subsistem yang paling penting yaitu foci yang menjadi kumpulan pola perilaku yang mnyerap banyak waktu dan tenaga. Apabila suatu kebudayaan makin terintegrasi maka focus tersebut akan makin berkuasa terhadap pola perilaku dan makin berhubungan focus tersebut satu dengan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kebudayaan akan rusak dan bahkan bias hancur apabila perubahan yang terjadi terlalu dipaksakan, sehingga tidak sesuia dengan keadaan masyarakat tempat kebudayaan tersebut berkembang. Perubahan tersebut didorongg oleh adanya tingakt integrasi yang tinggi dalam kebudayaan. Apabila tidak terintegrasi maka kebudayaan tersebut akan mudah menyerap serangkaian inovasi sehingga dapat menghancurkan kebudayaan itu sendiri.
PENUTUP
Kesimpulan
            Meskipun pendidikan merupakan suatu gejala yang bersifal universal dalam setiap kehidupan masyarakat, namun perbedaan filsafat dan pandangan hidup dianut oleh masing-massing bangsa atu masyarakat menyebabkan adnya perbedaan penyelenggaraan pendidikan termasuk perbedaan system pendidikan tersebut. Pusat dari proses pendidikan yang fital adalah keterlibatan dinamis setiap murid secara individu sesuai dengan aspek-aspek tertentu dan pemahaman kebudayaan melalui arahan seorang guru yang memussatkan pada aspek-aspek bidang studi yang dianggap paling berharga. Tidak ada bidang studi yang disakralkan dan harus dipelajari oleh semua murid. Yang harus ditanamkan adalah keterampilan dan kepekaan terhadap bidang studi. Menurut Tolstoy pengetahuan ilmiah merupakan suatu hal yang terpadu. Ilmu pengetahuan sama dengan kebudayaan dimana kebudayaan diambil dan disederhankan. Tiap disiplin akademik bias menjadi jalan untuk memahami konsep kebudayaan. Nilai-nilai budaya yang sangat berperan penting dalam pembentukan pendidikan baik formal maupun non-formal yang ditelaah dengan merenungkan segala sesuatunya. Nilai-nilai kebudayaan inilah yang menjadi jiwa dasar dari segenap wujud kebudayaan. Disamping nilai-nilai kebudayaan filsafat ilmu juga merupakan hal penting dalam pembentukan pendidikan yang nyata itu yang diwujudkan dalam bentuk landasan yang merupakan  kegiatan manusia.serta ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsure dari kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi dalam penbentukan pendidikan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar