Senin, 21 November 2011

Politik dan SBI yang Membingungkan


Nama : Muhammad Yusuf
NIM : 309 122 044
       Pendidikan merupakan sarana utama untuk menyukseskan pembangunan nasional, karena dengan pendidikan diharapkan dapat menyetak sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan dalam pembangunan. Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan juga merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup bangsa agar tidak sampai menjadi bangsa yang terbelakang dan tertinggal dengan bangsa lain.
       Freire berpendapat masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Hal senada juga dikemukakan oleh Imber dan Geel (2004) bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, dan antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan public.
       Landasan politik pendidikan mencakup kekuatan sosial masyarakat yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kekuatan tersebut dapat berupa kekuatan nyata dan potensial yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan dan sosial budaya seiring dengan dinamika masyarakat. Sehingga kondisi politik diasumsikan mempengaruhi terhadap program pendidikan yang tercermin dalam produk hukum dan kebijakan bidang pendidikan.
       Pemerintah menyelenggarakan sistem politik pendidikan secara demokratis dan berkeadilan. Pendidikan yang demokratis berpandangan bahwa fungsi pendidikan digunakan untuk semua masyarakat, mengakui persamaan hak warga negara dalam memperoleh pendidikan, dan warga negara mengembangkan sikap berpolitik yang baik sesuai dengan kaidah yang berlaku di negara tertentu. Politik pendidikan berfungsi sebagai alat komunikasi kepentingan warga negara dalam rangka membangun cita-cita bangsa.
       Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 4 yang menyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa
       Sistem politik pendidikan yang demokrasi merupakan fungsi utama pemerintah dalam membangun bangsa. Sementara itu Freire mengemukakan sistem politik pendidikan berfungsi menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Pendidikan sebagai civilisasi yaitu proses menjadi warga negara yang diharapkan. Pemerintah perlu mengembangkan politik pendidikan yang konsisten dan berkomitmen mewujudkan penyelenggaraan yang diamanatkan oleh undang-undang, berupaya mewujudkan tiap-tiap warga negara mendapat pengajaran.
       Sistem politik pendidikan dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan yang mencakup permasalahan: (1) peningkatan mutu; (2) efisiensi keuangan; (3) relevansi pendidikan; dan (4) pemerataan pendidikan. Keempat permasalahan tersebut merupakan permasalahan pokok dalam bidang pendidikan. Sistem politik pendidikan merupakan alokasi daripada nilai-nilai, pengalokasian dari pada nilai-nilai tersebut bersifat
       Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya
adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai
masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari
keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Akibatnya, upaya-upaya perbaikan
pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan berada di antara “mitos” dan
“realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem
pembangunan nasional [sebagai entitas sistem secara keseluruhan], tetapi di sisi lain
program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab
paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global
yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi [Ade Cahyana,
Ibid.http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/.]
       Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan sebagainya. Tidak adanya "national assessment" untuk mengawasi jalan program dari pendidkan  itu sendiri.
       Undang-Undang Sisdiknas 2003 memperkenalkan klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB). Pada SBI, pihak penyelenggara pendidikan diberi ruang untuk menggunakan silabus pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD.
       Kebijakan ini pun kemudian ”rame-rame” direspons oleh sekolah-sekolah di Tanah Air. Syamsir Alam (2008) menyebut pada tahun 2004/2005, SMA Negeri 70 Jakarta dan SMA Labschool mulai mengadopsi silabus Cambridge Advance Level (A Level) guna memperkaya kurikulum nasional pada siswanya. Selanjutnya program yang sama diperkenalkan di SMA Negeri 8 Jakarta, SMA Negeri 21 Jakarta, dan SMA Negeri 68 Jakarta.
       Saat ini sekolah bertaraf internasional (SBI) itu sudah tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Air. Diperkirakan, menjelang berakhirnya tahun anggaran 2009, jumlah SBI akan mencapai 260 sekolah, terdiri dari SMA 100 sekolah, SMP (100), dan SMK (60). Dan terus mengalami peningkatan walau permasalahan banyak timbul di akibatkan kebijakan ini.
       Sebenarnya inti dari SBI ini adalah semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan multikultural. Guru dalam SBI didesain sebagai sosok yang sangat paham makna dari konsep pembelajaran deep-learning, higher order thinking skills, dan contextual learning bagi siswa dan semakin mengetahui keterbatasan dan manfaat dari pembelajar an rote learning yang selama ini biasa dipakai di sekolah.
       Meskipun SBI ini merupakan salah satu bentuk terobosan Depdiknas untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia, namun tak bisa dipungkiri ada beberapa hal yang cukup merisaukan dengan berkembangnya SBI ini di Indonesia. Pertama, munculnya kesenjangan di antara peserta didik. Jika SBI ini diterapkan dengan pembiayaan penuh dari pemerintah dan diperuntukkan seluruh siswa di Indonesia, mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Sekolah-sekolah yang mulai membuka “jalur” SBI ini nyatanya memungut dana belasan juta rupiah bagi setiap siswa yang ingin masuk jalur ini.
Titel taraf Internasional memberikan image tersendiri bagi masyarakat. Masayarakat beranggapan jika anak mereka atau mereka telah masuk sekolah SBI merupakan berkah yang sangat besar dan telah menaikkan derajat mereka.  Untuk apa dan siapa SBI itu secara teorinya mereka tidak tahu ini selain itu banyak hal yang menjadi polemic dari daam sekolah itu sendiri, karena siswa SBI didominasi oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, selain itu siswa SBI hanya untuk siswa diatas rata-rata SNP. Output SBI juga masih samar terutama ketika siswa ingin melangkahkan pendidikan lanjutan. Pemerintah memang harus jeli dalam membuat kebijakan pendidikan agar peningkatan pendidikan di Indonesia melonjak, bukan berarti melonjak adalah mengikuti/menyamai luar negeri tapi mendongkrak masyarakat bawah yang sebelumnya awam pendidikan menjadi paham pendidikan. Program SBI sendiri perlu mendapat evaluasi agar fungsional dan untuk siapa SBI dicanangkan menjadi jelas.
       Mahalnya kelas SBI jelas hanya bisa dijangkau oleh orang tua berpenghasilan besar. Jika demikian bagaimana dengan siswa cerdas yang orang tuanya hanya pedagang sayur, tukang becak, atau buruh cuci, tidakkah siswa ini berhak mengenyam SBI? Tidakkah mereka berhak atas masa depan yang cerah dengan mencicipi pendidikan berkualitas? Jadi dalam pelaksanaan SBI mengalami ketimpangan yang sangat jelas dan mengajarkan pendidikan strata dalam masyarakat dalam pendidikan
       Hal demikian akan menimbulkan  efek psikologis yang bakal diderita siswa lain di luar kelas SBI. Betapa tidak, dalam satu sekolah yang sama, pagar dan gedung yang sama harus dibedakan statusnya sebagai siswa SBI yang notabene berkelas/keren, dengan siswa berstatus biasa. Ini yang terjadi pada beberapa sekolah menengah yang menerapakn system ini, di mana siswa-siswa dari orang tua berduit begitu melaju dengan berbagai program pembelajaran kelas internasional, sementara tak sedikit rekan mereka yang hanya bisa “melongo” menyaksikan ketidakadilan nasib.
       Terobosan yang dilaksanakan pemerintahan  ini terkesan buru-buru dijalankan Depdiknas. Ini tampak dari munculnya berbagai problem manajemen tatkala kecepatan sekolah-sekolah dalam melakukan perubahan (mengadopsi silabus pembelajaran dan penilaian asing) masih belum diimbangi dengan upaya yang sistematis untuk memperkuat dan meningkatkan mutu sumber daya kependidikan (kepala sekolah, guru, dan manajemen), membangun sistem kontrol dan akuntabilitas atas seluruh kegiatan akademis dan administrasi keuangan sekolah.
       pertumbuhan SBI yang begitu cepat itu malah menimbulkan masalah, kontraproduktif, dan kehilangan arah. Dengan hilangnya pesan perubahan, yang sebelumnya tercermin dari perubahan manajemen sekolah yang menjadi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif, program SBI ini malah hanya membawa kecemasan baru di masyarakat. Semestinya Depdiknas terlebih dulu melakukan pemetaan, pengkajian dan persiapan dari segala sisi sebelum menggulirkan program tersebut, sehingga keresahan tak menjalar di masyarakat.
       Niat pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air memang patut kita berikan apresiasi. Namun, pemerintah jangan hanya sebatas menggulirkan target-target pencapaian makro yang dilengkapi dengan paket-paket kebijakan umum, namun kemudian melempar tanggung jawab pelaksanaan (termasuk aspek pendanaan) kepada masyarakat. Karena hal itu pada akhirnya tidak saja membebani masyarakat dengan mahalnya biaya pendidikan, namun juga akan menciptakan jurang kesenjangan, dan membiarkan anak-anak dari kalangan miskin tergilas dalam kompetisi lantaran ketiadaan dana.
Banyak hal yang tidak terpikirkan oleh pemerintah dalam memberikan isin pada sekolah mendirikan kelas unggulan pada sekolah umum. Bagai mana bisa dalam naungan yang sama terdapat dua aliran pendidikan, sedangkan sama kelas biasa tapi beda jurusan antara ipa dan ips saja terjadi kesenjangan dan adanya kecemburuan social.
       Selain itu  yang lupa di pikirkan pemerintah dalam pendirian ini  adalah kesiapan human resources yang dimiliki. Tidak semua guru yang mata pelajarannya seyogyanya disampaikan 80% menggunakan Bahasa Inggris bisa berkomunikasi dalam bahasa ini dengan fasih. Sehingga mereka hanya sekedar mengucap salam dalam Bahasa Inggris, kemudian mengatakan, “Ok students, now you open your book on page so and so.” Setelah itu langsung switch dalam bahasa Indonesia. Ada juga seorang guru yang saking bingungnya materi apa yang akan diberikan, hanya memberikan materi-materi ajar dalam bentuk power point, tanpa menjelaskan apa pun, (the material was written in English for sure) kemudian membebani anak-anak untuk belajar sendiri.
       Banayak sekolah-sekolah  yang membatasi jumlah kelas yang direncanakan akan dikelola sebagai sekolah bertaraf internasional. Maka hal ini pun menyebabkan ‘gap’ antara kelas-kelas reguler dengan kelas-kelas ‘bertaraf internasional’ Dengan semakin maraknya kelas-kelas ‘bertaraf internasional’ yang menggunakan bilingual dalam interaksi sehari-hari (atau bisa juga dikatakan 75% berbahasa Indonesia dan 25% berbahasa Inggris, hal ini lagi-lagi berhubungan dengan kekurangsiapan human resources yang ada), maka semakin banyak buku yang ditulis dan dipublikasikan yang menggunakan bilingual.
        Buku-buku ini menggunakan kurikulum nasional yang penyajiannya satu halaman berbahasa Indonesia, di halaman sebelahnya berbahasa Inggris.Maka, jika dalam tabel yang ditulis oleh Anita DA sekolah bertaraf internasional menggunakan kurikulum selain kurikulum nasional, sekolah-sekolah sejenis yang ada di Semarang pelaksanaannya tidak seperti itu         .
       Masing-masing jenis sekolah memiliki keunggulan dan kekurangan yang berbeda. Tentu saja kita tidak bisa mengharapkan hasil yang 100% bagus di segala lini, terutama apakah akan mendidik anak-anak sebagai warga negara dunia atau warga negara lokal; apakah akan menjadikan anak-anak benar-benar bilingual sejati (atau bisa juga ditambahkan dengan bahasa asing lain) dengan kemampuan menulis dan berpidato yang setara di kedua bahasa. Pihak orangtua tentu saja tidak bisa begitu saja lepas tangan dan menyerahkan segalanya kepada pihak sekolah.
Banyak permasalahan yang di timbukan SBI itu sendiri baik efek kepada sekolah, guru, siswa dan lain lain sebagainya yang ikut berperan di dalamnya. Sebaiknya pemerintah itu harus jeli dalam membuat satu program maupun keputusan apalagi menyangkut kepada pendidikan, karna pendidikan yang baik akan menghasilkan negara yang makmur. Pemerintah seharusnya jangan pernah membuat suatu program yang menengok hal demikian itu bagus tapi juga harus meninjau kemampuan dari masyarakat kemudian prospek ke depan juga harus di pertimbangkan dan yang gak kalah pentingnya adalah pengawasan yang intensif terhadap program agar tidak terjadi penyimpangan.
Sebagusnya sekolah itu harus mengajarkan hal yang baik terhadap murid muridnya sehingga menjadikan para penerus bangsa menjadi generasi yang dapat diandalkan. Bukan malah sebaliknya, maka alangkah baiknya di suatu sekolah Cuma ada satu model saja. Jika itu sekolah umum iya sekolah umum saja. Jangan sekali kali memasukan model kelas yang berbeda seperti adanya SBI. Jika hendak mendirikan program pembeljaran SBI hendaknya membuat sekolah yang khusus pula.
Lain halnya dengan para guru, para guru harus meningkatkan kualitas mereka apalagi dengan system sertifikasi yang ada pada saat ini yang telah mulai menjamin kesejahteraan hidup para guru. Seorang guru harus bisa menguasai dunia pendidikan, dan harus mudah beradaptasi dengan perubahan. Dan guru harus berusaha abtudate tentang dunia pendidikan yang mereka geluti. Sehinga ketka terjadi perubahan mereka tidak terkejut lagi. Dan malah para guru dah punya persiapan lebih matang.
Jika kita dan saudara memiliki anak jangan pernah kita merasa bangga akan sekolah karna populer tapi yang mustikita pikirkan adalah bagai mana nasib anak kita. Jangan karna sekolah anaknya populer misalnya SBI tapi masih dalam naungan sekolah umum dia merasa bangga dan rela merogoh kocek cukup dalam namun kurang teliti terhadap pa hasil yang diperoleh anaknya nanti. Jangan tengok sekolah itu dari luar tapi lansung lah tinjau ke dalam sekolah tersebut, baik guru maupun fasilitas pendukung anak anak kita.
Dan kepada siswa siswi hendaknya sekolah itu memilih sekolah yang  berdasarkan pilihaan hati dan buakn berdasarkan gengsi atau keterpaksaan. Kita harus mulai berfikir mo kemana kita bagusnya, jangan terlalu ikut ikut kawan atau terpaksa karna tidak lulus di sekolah yang di suka. Mangkanya tetapakan hati giat belajar, optimis dan selalu berdo’a. dengan hal demikian mo dimanapun kita sekolah mau SBI ato sekolah odong-dongpun pasti anda bias sukses dalam hidup.
SBI memang program yang bagus tapi belum cocok di terapkan di negri kita ini, dan menurut hemat penulis lebih baik sitem pendidikan kita berbasis pada kejuruan mulai dari tingkat  sekolah lanjutan. Karna dengan program ini siwa lebih pokus tehadap apa yang iya tekuni seehingga ketika ia selesai lanjutan atas ia telah siap terjun di masyarakat. Jika dia tekuni dalam masakan semoga dia telah bisa jadi juru masak yang baik dan telah siap pakai. Dan jika ia telah masuk perguruan tinggi dia tela bias membuat alat masak atau masakan terbaru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar