Kamis, 24 November 2011

FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME


Oleh : Ramika Dewi Saragih

Sebelum membahas salah satu dari aliran filsafat pendidikan,  saya terlebih dahulu akan mengulas sedikit tentang hake     kat pendidikan itu sendiri. Pada dasarnya, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif, tetapi harus kedua-duanya. Pendidikan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi), pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan social budaya. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan karena itu, secara metodologis bertumpu diatas prinsip-prinsipaksi dan refleksi total, yakni bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut.
Selanjutnya, pendidikan dapat diartikan sebagai proses kegiatan mengubah perilaku individu kearah kedewasaan dan kematangan. Arti kedewasaan dalam konotasi ini sangat luas tidak terbatas hanya pada usia kalender, melainkan lebih menekankan pada mental-spiritual, sikap nalar, baik intelektual maupun emosional, social dan spiritual. Aplikasi ini akan terlihat nyata dalam kematangannya dalam berfikir, berucap, berperilaku, dan membuat keputusan. Sudah barang tentu bahwa kedewasaan dan kematangan yang dimiliki seseorang merupakan hasil dari kinerja pendidikan yang tidak hanya terbatas pada pendidikan persekolahan (pendidikan formal).
Seperti yang kita ketahui, pendidikan merupakan pemberdayaan sumber daya manusia. Dalam aktivitas pemberdayaan diarahkan untuk memberikan kebebasan untuk memiliki tanggungjawab pengembangan pribadi yang meliputi kemampuan berpikir, melakukan tindakan, mengembangkan gagasan, bersikap, sampai pada membuat keputusan. Terkait proses pemberdayaan selanjutnya harus didasarkan pada kasih sayang. Sumber daya manusia (SDM) yang telah memiliki keberdayaan tidak lepas dari manusia lainnya. Selalu dijalin interaksi social dengan sesamanya dalam suasana kasih sayang. Manusia adalah makhluk soasial. Manusia tentu perlu membutuhkan manusia lain. Keadaan yang demikian, individu terhadap individu lain saling dapat memeberdayakan.
Menurut hemat  saya, pendidikan membantu menyadarkan anak tentang potensi yang ada padanya, membantu mengembangkan potensi seoptimal mungkin, memberikan pengetahuan dan keterampilan, memberikan latihan-latihan, memotivasi untuk terlibat dalam pengalaman-pengalaman yang berguna, mengusahakan lingkungan yang serasi dan kondusif untuk belajar, mengarahkan bila ada penyimpangan, mengolah materi pelajaran sehingga peserta didik bernafsu untuk menguasainya, mengusahakan alat-alat, meningkatkan intensitas proses pembelajaran.
Baiklah, selanjutnya akan dijabarkan tentang aliran filsafat pragmatism. Filsafat ini dipandang sebagai filsafat Amerika asli, pada hal kenyataan yang sebenarnya adalah berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah apa yang manusia alami. Tokoh yang terkenal dalam filsafat ini adalah Charles Sandre Pierce, William James dan John Dewey.
Secara etimologis, Pragmatisme berasal dari kata “pagma” yang berarti praktik atau aku berbuat. Hal ini mengandung arti bahwa makna dari segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap realitas. Sedikit menyinggung tentang realitas, realitas merupakan  apa yang dapat dialami secara indera. Manusia selalu berubah dan berkembang dan perkembangan berlangsung terus-menerus, karena itu manusia hidup dalam keadaan “menjadi” (becoming) secara terus menerus (on goingness). Peserta didik merupakan organisme yang aktif, secara terus menerus merekonstruksi, menginterpretasi dan mereorganisasi kembali pengalaman-pengalaman yang dialaminya. Peserta didik harus selalu berhubungan dengan individu-individu lainnya, karena dalam hubungan yang demikian mereka akan bertumbuh dan berkembang. Mereka akan mempelajari hidup dalam komunitas individu, bekerjasama dan menyesuaikan dirinya secara cerdas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Pendidkan menurut pandangan pragmatis bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengaan  sendirinya, melainkan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu yang berarti bahwa setiap manusia selalu belajar dari pengalamannya.



Pendidikan perlu didasarkan pada 3 (tiga) pokok pemikiran, yakni :
1.      Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup;
Hidup selalu berubah menuju pembaharuan hidup, karena itu pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup. Pendidikan berfungsi sebagai alat dan sebagai pembaharuan hidup. Dalam hidupnya, manusia selalu berinteraksi, individu yang satu dengan individu yang lainnya, dan dengan lingkungannya. Orang yang sudah dewasa yang telah memiliki pengalaman hidup berinteraksi dengan manusia muda yang masih belia dalam pengalaman hidup untuk mewariskan nilai-nilai budayanya dan kebudayaan itu sendiri untuk kelangsunagn hidup. Terjadilah pewarisan kebudayaan, nilai, pengetahuan dan ketrampilan serta sikap hidup kepada generasi muda. Hal ini membawa pembaharuan hidup pada generasi muda dan pembaharuan ini akan semakin pesat perubahannya oleh karena perubahan yang terjadi dalam hidup dan kahidupan manusia dengan pengaruh ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang semakin pesat perubahannya. Untuk mengisi dan melengkapi kehidupan yang selau berubah dan berkembang maka sangat diperlukan adanya pendidikan.
2.      Pendidikan sebagai pertumbuhan ;
Petumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan yang berlangsung terus menerus untuk mencapai hasil selanjutnya. Pertumbuhan juga merupakan proses pematangan oleh karena peserta didik memiliki potensi berupa kapasitas untuk berkembang atau bertumbuh menjadi sesuatu dengan adanya pengaruh lingkungan. Hidup selalu mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan diwarnai oleh aktivitas aktif, yang berarti bahwa pertumbuhan akan dipenaruhi intensitas aktivitas individu yang menimbulkan pengalaman yang akan membawa perunahan pada dirinya. Sehingga pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, sedangkan pendidikan adalah hidup itu sendiri. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan persiapan untuk suatu kehidupan


3.      Pendidikan sebagai fungsi social ;
Lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan suatu proses membimbing dan mengembangkan. Melalui kegiatan pendidikan masyarakat membimbing peserta didik yang masih belum matang menurut susunan social tertentu. Dalam keadaan yang belum matang peserta didik selalu berinteraksi dengan lingkungan, selalu berhubungan dengan individu lainnya.
Dalam aktivitas pendidikan selalu ada interaksi yang dapat mempengaruhi dan membimbing peserta didik dapat mengembangkan diri sebagai pribadi yang dipengaruhi dan mempengaruhi dalam situasi dan lingkungan social. Sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan dan sekaligus sebagai alat transmisi, memiliki tiga fungsi, yakni :
-         Menyederhanakan dan mengarahkan factor-faktor bawaan yang diharapkan untuk berkembang
-         Membimbing dan mengarahkan kebiasaan masyarakat yang ada sesuai dengan yang diharapkan.
-         Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik yang diperuntukkan bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mereka.
Dalam praktek pelaksanaan pendidikan sangat dianjurkan agar guru dalam menghadapi peserta didik dalam kelas memperhatikan saran berikut :
a.       Guru tidak boleh memaksakan sesuatu yang tidaks sesuai dengan minat dan kemampuan peserta didik
b.      Peserta didik harus dihadapkan pada suatu kondisi yang memungkinkan mereka merasakan adanya suatu masalah yang harus diselesaikan sehingga timbul minat untuk menyelesaikannya.
c.       Guru harus mengenal peserta didik dan dapat membangkitkan minat mereka dalam pembelajaran.
d.      Guru harus menciptakan situasi pembelajaran yang dapat menimbulkan kerjasama antara pesrta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan guru

Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsapat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Di bawah ini akan diuraikan arah dan tujuan pendidikan pragmatisme.
1. Arah Pendidikan Pragmatisme
Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya. Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam sepanjang hidup manusia akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya. Dalam perkembangan tersebut manusia membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is themeansure of all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v). Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadulloh, 2003:125). Jadi, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalaman masa lalunya. Tak kurang dari John Dewey, seorang aliran pragmatisme yang mengorientasikan landasan metodologi dan kesimpulannya pada ilmu-ilmu sosial dan biologi (Sadulloh, 2003:125) mengurai pentingnya pendidikan atas tiga pokok pemikiran, yaitu: a) pendidikan merupakan kebutuhan hidup. Maksud dari pernyataan itu adalah, selain sebagai alat, pendidikan juga sebagai pembaharuan hidup (a renewel of life). Tenaga yang dimiliki dan keberadaan lingkungan, dijadikan sebagai alat untuk perjuangan hidup. Tak ayal dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia selalu berintraksi antara individu dengan lingkungan, dan pembaharuan hidup tidak lepas dari budaya atau selalu tergantung pada hasil budaya dan perwujudan moral kemanusiaan; b) pendidikan sebagai pertumbuhan. Maksudnya adalah pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, dan pendidikan adalah hidup itu sendiri; c) pendidikan sebagai fungsi sosial. Arti dari pernyataan tersebut adalah, pendidikan diberikan untuk digunakan sebagai sarana meneruskan dan menyelamatkan cita-cita masyarakat. Karena itu, dalam hubungan sekolah sebagai fungsi sosial, keberadaan sekolah (sebagai alat transmisi), menurut Dewey (1964: 22, dalam Sadulloh, 2003:127) sekurang-kurangnya harus memiliki tiga fungsi. Ketiga fungsi itu ialah: 1) menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang. Maksudnya, keberadaan sekolah (pendidik) hendaknya menjadi fasilitator terhadap perkembangan anak; 2) memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada. Maksudnya, sekolah hendaknya menjadi agen pelestari dan penyelaras kebiasaan (kebudayaan) masyarakat, serta menjadi alat pencerah terhadap kebiasaan masyarakat tersebut agar lebih siap menghadapi perubahan zaman; dan 3) menciptakan suatu lingkungan yang baik, serta lingkungan itu menjadi milik anak untuk dikembangkan. Artinya, sekolah hendaknya memiliki tanggung-jawab menciptakan lingkungan yang baik, dan lingkungan yang baik itu selanjutnya diserahkan pengelolaannya kepada anak untuk dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan arah kehidupan masyarakat yang dikehendaki.
2. Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2003:128). Paparan itu mengandung makna bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang, mungkin akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai, menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu. Bertolak dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak. Di suatu negara yang memiliki penduduk hedrogen seperti Indonesia, terdapat beraneka ragam warna kehidupan masyarakat. Baik wilayah geografis, tradisi, bahasa daerah, suku, profesi dan sebagainya. Masing-masing keadaan memiliki ciri-ciri tertentu serta satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagai misal, jika terdapat suku yang sama, mungkin tradisi mereka berbeda. Jika memiliki wilayah geografis yang sama, mungkin mata pencaharian atau profesi mereka berbeda, demikian seterusnya, sehingga tidak mungkin dapat diterapkan suatu kebijaksanaan pendidikan yang memiliki konsekuensi yang sama.
Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak ada pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat. Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara. Suryabrata (Jalaluddin, 2003:119) mengatakan bahwa, pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, bahkan tujuan merupakan salah satu hal yang teramat penting dalam kegiatan pendidikan, guna memberikan arah dan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode, alat, evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dengan arah yang pasti, harapan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari usaha penyelenggaraan pendidikan akan dapat dicapai. Yang tidak kalah penting, menurut pragmatisme materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Sebagai misal, jika materi yang akan diberikan dikaitkan dengan demokrasi, maka materi tersebut hendaknya merupakan seperangkat tidakan untuk memberi isi terhadap kehidupan sosial yang ada pada waktu itu dilingkungan tinggal anak. Intinya sekolah secara umum, dan materi ajar secara khusus tidak dipisahkan dari kehidupan, karena hakekatnya pendidikan bukan persiapan untuk suatu kehidupan, melainkan pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yangsilent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka. Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Model pembelajaran pragmatisme adalah; anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu: a) tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan ha-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi; b) kedudukan siswa. Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh; c)kurikulum. Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut, dan kurikulum pendidikan pragmatisme serta-merta menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan; d) metode. Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja); dan e) peran guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya. Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah direncanakan.
Pendidikan pragmatisme berwatak humanis, dan manusia adalah ukuran segala-galanya. Rasio manusia tidak pernah terpisah dari dunia, bahkan menjadi bagian dari dunia itu sendiri. Pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis, serta benar tidaknya hasil pikiran manusia akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktek. Jadi, suatu teori dikatakan benar jika berfungsi praktis bagi kehidupan manusia. Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap suatu nilai yang tidak empiris. Konsep pendidikan pragmatisme adalah, pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak menjadi manusia yang mandiri, bertanggung-jawab, dan dapat memecahkan persoalan hidupnya sendiri. Pendidikan harus dilangsungkan di tempat dimana anak berada. Kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah, tetapi merupakan satu kesatuan, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman di luar sekolah. Masalah yang diangkat oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru.
Dalam pendidikan pragmatisme, semua materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua kegiatan anak dilakukan sendiri seiring dengan minat dan kebutuhan yang dipilih, tetapi guru tetap memberikan arahan yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.
Kesimpulan
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkret.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar