Selasa, 22 November 2011

Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

HAKIKAT PENDIDIKAN DALAM CERMINAN HARDSKILL, SOFTSKILL, DAN TRANSCENDENTAL SKILL PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
oleh : Ayu Febryani*


A.      RUANG LINGKUP PENDIDIKAN
      Pendidikan adalah hal yang paling mendasar dan sangat berperan penting dalam pengembangan diri tiap individu dalam proses pembangunan bangsa. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses kegiatan mengubah prilaku individu ke arah kedewasaan dan kematangan. Kedewasaan dalam hal ini lebih mengarah pada mental-spiritual, sikap nalar, baik intelektual maupun emosional, sosial, dan spiritual. Sedangkan kematangan lebih mengarah pada pola berpikir, berucap, berprilaku, dan membuat keputusan.[1]
       Dalam Undang – Undang No.23 tahun 2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa unsur – unsur pendidikan yang penting untuk dapat menjadi pedoman pengembangan potensi diri para peserta didik adalah pengembangan hardskill, softskill, dan transcendental skill. Kesemuanya itu pada akhirnya bermuara pada satu tujuan yakni sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sehat dan berilmu merupakan kategori hard skill, berakhlaq mulia, cakap kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab merupakan kategori soft skill. Sedangkan beriman dan bertaqwa merupakan kategori dari transcendental skill.
        Negara Indonesia saat ini membutuhkan banyak agents of change yang bermutu dalam upaya memajukan pembangunan. Hal ini sesuai dengan undang – undang yang tertera pada Bab II pasal 3 RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang telah disebutkan sebelumnya, maka tentunya implementasi yang diberikan oleh pendidikan tidak hanya sebatas peningkatan inteligensi saja, akan tetapi jika kita memahami isi tujuan pendidikan Nasional diatas, tersirat juga mengenai peningkatan kepribadian si peserta didik. Hal inilah yang menjadi problematika yang tengah dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia. Peningkatan kualitas inteligensi semakin dikembangkan, namun tidak dibarengi secara maksimal dengan peningkatan kualitas pribadi. Artinya, Pendidikan yang hanya menghasilkan Hard skill seperti inteligensi, lebih diutamakan dan pendidikan yang mengajarkan soft skill seperti sikap, moral, nilai-nilai dalam kepribadian belum mendapatkan apresiasi yang maksimal, (Latief : 2009 ) apalagi transcendental skill seperti nilai-nilai keimanan, ketaqwaan kepada sang Pencipta.

B.       PENDIDIKAN BERBASIS HARDSKILL, SOFTSKILL, DAN TRANSCENDENTAL SKILL
       Berbicara ketiga aspek pada sub judul di atas, maka baiknya terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu hardskill, softskill, dan transcendental skill. Berdasarkan Elfindri,dkk (2010), Hard skill adalah kemampuan teknis/analitis/akademis/ dan keterampilan profesional yang dimiliki individu. Peranan Hard skill tergolong menjadi 2 bagian yakni peranan keilmuan dan peranan keterampilan. Hard skill secara ilmu metodik masuk ke dalam ranah Psikomotorik. Sedangkan soft skill secara sederhana dapat dikatakan sebagai semua sifat yang menyebabkan berfungsinya Hard skill yang dimiliki. Secara umum, pada dasarnya soft skill merupakan keterampilan seseorang diluar kemampuan akademiknya, baik itu yang bersifat intrapersonal maupun interpersonal. Dan transcendental skill merupakan suatu kesadaran yang dimiliki oleh manusia bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya dilihat oleh Sang Pencipta, ini berarti bahwa transcendental skill menjadi fondasi akan kesuksesan diri baik untuk menjalani dan mengisi kehidupan di dunia sekaligus untuk jembatan mampu mengisi kehidupan kelak pada periode berikutnya. Transcendental skill dapat diukur oleh diri individu itu sendiri melalui evaluasi diri.
      Oleh sebab ini kombinasi ketiga aspek tersebut berperan sangat penting dalam pembentukan karakter generasi muda. Pendidikan karakter sendiri merupakan salah satu persoalan utama pendidikan generasi muda yang perlu mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan karakter menentukan kualitas moral dan arah dari setiap generasi muda dalam mengambil keputusan dan tingkah laku. Karena itu, karakter merupakan bagian integral yang harus dibangun, agar generasi muda memiliki sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh dan benar. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan,Muhammad Nuh, dalam kata sambutannya pada buku Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa.
      Karakter adalah sifat pribadi yang relatif stabil pada individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi,(Pendidikan Karakter dalam Pembangunan, 2010 : 37 ). Artinya, suatu kondisi yang menunjukkan aktivitas perilaku individu ataupun kelompok yang mengacu pada kaidah-kaidah agama, norma-norma adat dan kebiasaan yang tercermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Tentunya, untuk membentuk individu yang seperti ini pada generasi muda sangatlah dibutuhkan peranan pendidikan yang tidak hanya sebatas mengajarkan, tetapi juga melatih dan membimbing. Seperti diutarakan oleh (Sukmadinata,2003), Seorang pendidik setidaknya dapat berfungsi dalam 3 ranah:
-       Sebagai pengajar, guru lebih berperan dalam segi intelektual, penguasaan pengetahuan, dan kemampuan berpikir (Hard skill).
-       Sebagai pelatih, guru berperan membantu pengembangan segi keterampilan,, keterampilan intelektual, social dan fisik-motorik.
-       Sebagai pembimbing, guru lebih berperan dalam mengembangkan segi – segi afektif, penguasaan nilai – nilai, sikap, motivasi, dll
Disamping itu, hal ini sesuai dengan falsafah pendidikan itu sendiri, yakni pedagogics. Pedagogics berasal dari kata Yunani “pais” artinya “anak” dan “agogos” artinya membimbing. Dengan demikian secara general pendidikan mengandung pengertian “bimbingan yang diberikan kepada anak” (Thontowi:1991).
      Akan tetapi, Beberapa budaya pendidik dalam mengajar selama ini masih tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Dalam buku membongkar budaya – visi Indonesia 2030 dan Tantangan menuju Raksasa Dunia, Kompas (2007:293) berdasarkan  data yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional tercatat bahwa jumlah guru ada 2, 7 juta jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 1,4 juta adalah guru SD. Dari guru – guru SD tersebut, yang memenuhi syarat untuk menjadi guru SD hanya 8,3 % sisanya 91,7% tidak memenuhi syarat. Mereka adalah guru – guru karbitan inpres.
      Pada jenjang pendidikan SMP hingga SMA, jumlah guru tercatat sebesar 1,3 juta guru SMP dan SMA, dan 30 % dapat disebut qualified untuk mengajar. Sisanya 70 % masih unqualified,underqualified, dan mismatch. Akibatnya mereka tidak atau kurang mampu dalam menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar – benar kualitatif.
      Menjadi guru adalah profesi yang mulia. Bahkan dalam ajaran Islam, menyampaikan ilmu dalam kata lain menjadi guru merupakan salah satu amal ibadah yang tidak pernah habis pahalanya apabila bermanfaat dan diterapkan oleh anak didiknya. Dahulu sosok guru dinilai berkualitas, berkarakter, mempunyai semangat berkorban untuk masyarakat, dan pada umumnya dikenal mampu membimbing anak didiknya. Sosok guru di masa lalu sungguh dapat menjadi suri teladan bagi anak didiknya. Kita mungkin masih ingat cerita para pengkrtitis bahkan guru – guru di sekolah-sekolah ataupun PT –PT bahwa di  masa dulu negara-negara tetangga datang ke Indonesia untuk diajar, bahkan pendidik Indonesia sampai dipanggil oleh Negara luar untuk mengajar mereka. Tetapi pada saat ini tampaknya sangat bertolak belakang sekali.
      Berdasarkan survey Bank Dunia, dalam Elfindri,dkk (2010: 105) angka absensi guru berada pada kisaran 19 % di Indonesia. Disamping itu banyak guru yang memiliki ambiguitas dalam hal profesi kerja. Menjadi guru bagi sebagian mereka hanyalah pekerjaan sambilan. Ini menyebabkan sebagian guru tidak fokus pada amanahnya untuk membimbing anak didiknya.
      Banyak juga ditemukan guru – guru yang mengajar tidak sesuai dengan dasar kemampuan/jurusan yang diperolehnya ketika selesai menyelesaikan studinya. Misalnya kenyataan yang saya hadapi ketika berada pada tingkat SMU, Bapak Y dikenal sebagai sarjana ekonomi, namun di sekolah tersebut ia ditempatkan sebagai guru olahraga. Hal ini ternyata menimbulkan kerancuan dan ketidakmaksimalan guru dalam membagi ilmunya.
      Tetapi bagaimanapun guru adalah profesi yang mulia. Tidak mudah menjadi seorang guru. Guru menerangi anak didiknya dari kegelapan. Ia mampu mengubah sebuah debu menjadi emas berlian, menjadikan para peserta didiknya sebagai the real agents of change. Namun guru semestinya berupaya mengabdikan dirinya terbaik untuk peserta didiknya. Selayaknya guru atau pendidik  sesuai kodratnya dan semboyannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa harus bekerja sebagaimana mestinya, membantu para peserta didik menemukan karakter dalam tiap pribadi – pribadinya.
      Kita ketahui bersama bahwa pendidikan nasional telah lama menerapkan pembelajaran yang dititikberatkan pada perkembangan hardskill para peserta didiknya. Negara fokus menciptakan generasi bangsa yang tinggi tingkat intelektualnya. Namun, sistem pendidikan mengabaikan moral para pesera didiknya yang dihimpun dalam istilah softskill dan transcendental skill. Hal ini tak pelak menimbulkan dekadensi moral para generasi muda. Kita dapat melihat banyak kasus dan peristiwa kriminal terjadi yang dilakukan oleh seorang pelajar, misalnya pemerkosaan, penggunaan narkotika, pembunuhan, tawuran, pencurian, dan lain sebagainya. Melihat kondisi tersebut maka kita sebaiknya kembali pada era pendayaan dimana kurikulum tidak melupakan pengajaran moral yang tercermin pada implementasi pancasila beberapa tahun silam, maka sejak tahun 2000-an, dunia pendidikan fokus melaksanakan penerapan atribut soft skill dalam setiap materi pembelajaran melalui learning revolution yang berbasis softskill. 
      Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai model pembelajaran yang disuguhkan oleh sistem ini, seperti contextual Learning, cooperative learning, discovery Learning, Problems Based Learning, classical method, dan sebagainya. Akan tetapi soft skill memang belum benar – benar optimal diimplementasikan dalam membentuk karakter bangsa. Agaknya kita membutuhkan waktu untuk merenungkan semuanya, baik pendidikan itu sendiri, maupun sistem yang mengarahkan pendidikan itu. Nilai idiel merupakan hal dasar yang memengaruhi sistem sosial dari pendidikan yang dapat dilihat dari hasil atau wujud pendidikan itu sendiri. Jadi jika nilai idiel ini jelas dan terarah maka sistem sosial akan membentuk suatu keadaan yang diinginkan. Namun, sebaliknya jika nilai idiel ini tidak jelas dan tidak terarah maka hasil yang diperoleh adalah ketidaksuksesan program pendidikan itu. Kita tahu landasan filosofis dari pendidikan Indonesia sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini maka seharusnya konsep tersebut harus jelas kontennya, jelas strategi pembelajarannya, dan jelas tolok ukur keberhasilannya.
 

C.      HARDSKILL, SOFTSKILL, DAN TRANSCENDENTAL SKILL YANG DIHIMPUN DALAM ISTILAH ’PENDIDIKAN KARAKTER’
Isu Hard skill,soft skill,dan transcendental skill tengah marak diperbincangkan di dunia pendidikan dalam beberapa tahun ini. Kelumpuhan perpaduan ketiga aspek skill ini membuat upaya pengembangan karakter pada diri individu tersendat. Problematika yang tengah dihadapi oleh pendidikan di Indonesia pada saat ini bukanlah sebuah permasalahan yang dapat dipandang sebelah mata. Hal ini dikarenakan jika permasalahan ini tidak secepatnya mendapatkan langkah-langkah penanganan, maka Indonesia hanya akan tetap berada pada titik itu saja. Artinya tidak ada fluktuasi yang berarti dilakukan. Kedepannya Indonesia hanya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkarakter pemalas, tidak memiliki etos kerja yang tinggi, dan tidak produktif. Hal ini akan berakibat pada keruntuhan bangsa ini kedepannya sebab SDM yang dipersiapkan tidak mampu menyaingi negara maju lainnya.
       Dalam menangani hal ini, Menteri Pendidikan terus mencanangkan dan mempromosikan mengenai peningkatan kualitas Pendidikan Karakter sebagai sebuah konsep yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan ini. Akan tetapi, konsep pendidikan karakter seakan-akan menjadi abu-abu dikala seluruh elemen yang bergerak dalam sektor pendidikan tidak memiliki pandangan, rancangan dan metode yang tepat bagaimana untuk melaksanakan pendidikan karakter tersebut. Misalnya saja standar kelulusan Siswa sekolah setiap tahun dinaikkan. Secara tidak langsung, ini merupakan sebuah  masalah perapuhan mental peserta didik sebab tidak semua lembaga pendidikan di seluruh Indonesia memiliki sistem, sarana, dan prasarana yang sama. Artinya otonomi daerah harus diberlakukan agar daerah dapat dengan sendiri mengembangkan potensi – potensi SDM-nya.
       Pendidikan karakter yang memadukan hard skill, soft skill dan transcendental skill adalah sebuah bentuk rancangan bagaimana implementasi yang semestinya dapat diwujudkan oleh pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan konsep pendidikan karakter ini masihlah baru dan masih butuh banyak rancangan serta masukan agar terbentuk secara utuh dan dapat diaplikasikan dengan jelas. Intinya yang terpenting adalah bagaimana SDM membentuk frame of thinking (cara berpikir) yang terarah sehingga arah pembelajaran pendidikan karakter dapat dirasakan secara nyata dalam pengaplikasian hidup sehari – hari, misalnya konsep reciprocity oleh Marcell Mauss yang dapat dilihat dalam kegiatan gotong royong, dimana wujud Hard skill dapat dilihat ketika masyarakat memahami makna gotong royong tersebut; sedangkan wujud soft skill dapat dilihat dari perubahan sikap yang ditunjukkan oleh masing – masing individu melalui sikap saling membantu, menghargai, bekerjasama, etos kerja yang tinggi, inisiatif, mampu beradaptasi, beretika, dan sebagainya; kemudian yang terakhir yakni wujud transcendental skill dapat dilihat ketika masing – masing individu menjalani semuanya dengan rasa ikhlas dan menyakini dalam diri mereka bahwa setiap hal baik yang mereka lakukan dilihat oleh Sang Pencipta.

D.      SETIAP INDIVIDU ITU BERBEDA
 Disadari bersama bahwa dalam diri setiap individu pastinya memiliki hardskill, soft skill dan transcendental skill, hanya saja kadar dari tingkat kemampuan ilmu ( hard skill), dan kepribadian (soft skill), dan spiritual (transcendental) yang dimiliki setiap individu itu berbeda – beda.
       Ada beberapa hal yang mempengaruhi seorang individu sehingga memiliki latar belakang perkembangan hidup yang berbeda – beda. Menurut Suryabrata (2008), faktor – faktor yang menentukan perkembangan hidup manusia dilatarbelakangi oleh beberapa teori yakni:
-       Teori nativisme atau genetika yakni perkembangan manusia itu ditentukan oleh faktor – faktor keturunan yang merupakan faktor yang dibawa oleh individu pada waktu dilahirkan, lingkungan ( pendidikan) tidak berpengaruh terhadap perkembangan individu. Teori ini dikemukakan oleh Schopenhauer (Bigot, Kohstamm, Palland,1950).
-       Teori empirisme atau tabularasa yakni perkembangan seorang individu ditentukan oleh empirinya/pengalaman – pengalaman yang diperoleh selama perkembangan individu (lingkungan dan pendidikan). Peranan pendidikan dalam hal ini sangat besar. Pendidiklah yang akan menentukan keadaan individu itu di kemudian hari. Teori ini dikemukakan oleh John Locke, disebut juga,” teori tabularasa”. Ditambahkan juga oleh Daniel Goleman (1996) bahwa kecerdasan emosional (cenderung merujuk kepada soft skill) tidaklah ditentukan sejak lahir (faktor bawaan). Kecerdasan emosional dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri kita semua (dari pengalaman termasuk di dalamnya lingkungan dan pendidikan).
-       Teori Konvergensi yakni baik pembawaan maupun pengalaman / lingkungan mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan individu. Perkembangan individu akan ditentukan baik oleh faktor yang dibawa sejak lahir (endogen) maupun faktor lingkungan (termasuk pengalaman dan pendidikan ) yang merupakan faktor eksogen.
Ketiga teori diatas merupakan bentuk relativitas, dimana perkembangan manusia itu tergantung dari sisi mana kita menilainya.
       Memang tidak mudah mengubah tingkah laku dan membentuk karakter diri dalam sekejap. Dibutuhkan proses waktu yang lama. Namun mempertajam hard skill dan mengasah soft skill, dan memperdalam transcendenta skill dapat dilakukan dengan proses belajar baik itu belajar sendiri (learning by doing), learning by training (pelatihan – pelatihan, seminar – seminar,dll), belajar berkelompok lewat diskusi (peer group), ataupun memperbanyak membaca dan menganalisa.
       Kebiasaan untuk bekerja secara bersama – sama akan melatih peserta didik untuk dapat bekerja sama dalam satu tim. Walaupun kerap sekali di dalam kelompok ada teman yang memiliki kelemahan dan cenderung pasif. Akan tetapi dari buku Soft skills untuk pendidik karangan Elfindri,dkk; penulis memahami bahwa kelemahan teman, kita anggap sebagai sesuatu yang perlu kita jadikan keterbatasan manusia. Biasakan diri untuk tidak menyatakan super dalam menangani masalah dalam bekerja sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial antarsesama teman.


E.     PERMINTAAN PARA STAKEHOLDERS/ PENGGUNA/ OUTCOME/ EKSTERNAL
Berdasarkan beberapa survei dari berbagai pihak diantaranya Pusat Kurikulum Depdiknas, penelitian di Harvard University Amerika Serikat, buku Lessons From The Top, dan berdasarkan hasil survei National Association of College and Employee (NACE),USA 2002; Keseluruhannya menyatakan bahwa permintaan saat ini pada outcome ialah orang – orang yang tidak hanya tinggi tingkat intelektualitasnya akan tetapi lebih menuntut mereka memiliki soft skill yang baik. Berikut pemafaran dari hasil – hasil survei di atas:
-       Pada era globalisasi pihak pemberi kerja membutuhkan lulusan mahasiswa yang tidak hanya memiliki kemampuan hard skil saja, tetapi kemampuan soft skill. Dari survei Pusat Kurikulum Depdiknas yang diperoleh menunjukkan bahwa 20% kesuksesan seseorang berasal dari technical skils/hard skill, sementara itu 80 % sisanya berasal dari mindset/ soft skill.
-       Dunia pendidikan mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.
-       Buku Lessons From The Top, yang dikarang oleh Thomas J.Neff dan James M.Citrin, mengatakan bahwa kunci sukses dari seseorang itu ditentukan oleh 90 % adalah kemampuan soft skill dan hanya 10% saja kemampuan hard skill.
Berdasarkan hasil survei National Association of College and Employee (NACE),USA 2002 kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara dan juga diutarakan dalam Elfindri,dkk (2010:156) disebutkan 20 kemampuan yang diperlukan di Pasar Kerja menurut ranking ialah:

Kemampuan
Nilai Skor
Klasifikasi Skills
Ranking Urgensi
Komunikasi
Kejujuran/Integritas
Bekerjasama
Interpersonal
Etos kerja yang baik
Motivasi/Inisiatif
Mampu Beradaptasi
Analitikal
Komputer
Organisasi
Oriental detail
Kepemimpinan
Percaya Diri
Soopan/Beretika
Bijaksana
Indeks Presttasi > 3,00
Kreatif
Humoris
Kemampuan
Enterpreneurship
4,69
4,59
4,54
4,5
4,46
4,42
4,41
4,36
4,21
4,05
4
3,97
3,95
3,82
3,75
3,68
3,59
3,25
3,23

Soft skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
Kognitif Hard skill
Psikomotorik Hard skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
Kognitif Hard skill
Soft skill
Soft skill
Soft skill
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Sumber : Survey National Association of Colleges and Employee (Nace,2002) dalam Elfindri,dkk    
       Dari hasil survey tersebut ternyata kemampuan Hard skill berada di point 8,9 dan yang menarik, indeks prestasi >3.00 berada pada posisi ke 16. Padahal komponen ini yang cenderung diutamakan oleh Lembaga Pendidikan dalam menilai kemampuan peserta didik, khususnya di Perguruan Tinggi.
       Berdasarkan data dan fakta yang diperoleh dalam Elfindri,dkk (2010), tercatat pada tahun 2008 data Susenas  memperlihatkan sekitar 40% dari anak SMA dan sederajat terjebak dalam masa mengganggur, sementara untuk mereka yang memiliki ijazah Sarjana atau Diploma pengangguran sekitar 20%. Mereka yang berpendidikan sebagai guru juga menunjukkan tendensi penggangguran yang variatif. Sedangkan dalam Kompas 19 Februari 2010 dikatakan bahwa 2 juta diploma dan Sarjana  menganggur, hal ini disebabkan karena sebahagian lulusan perguruan tinggi tidak memiliki ketrampilan non akademis. Melalui data – data tersebut dapat diketahui bahwa Hard skill saja tidak dapat berkembang dengan baik tanpa ada komponen lainnya yang membantunya yakni soft skill dan transcendental skill.
      Soft skill dapat lahir ketika rintangan yang dilalui seseorang semakin berat, pendidikan formal yang dilalui semakin tinggi, lingkungan yang kondusif yang menyebabkan munculnya berbagai bentuk soft skill, dan learning by doing (belajar sendiri), pada tahap ini lah umumnya karakter akan terbentuk. Berdasarkan elfindri dkk, (2010) belajar sendiri memang membutuhkan fasilitas dan arahan, namun ketika kunci – kunci belajar diperoleh secara baik, maka akan memudahkan seseorang untuk menggali sampai diperoleh suatu pemaknaan. Kemudian ketika soft skill mulai terbentuk, maka secara tidak sadar transcendental skill juga mulai terbentuk. Ini disebabkan karena adanya perubahan sikap kearah yang lebih baik,menyebabkan hati dituntun untuk semakin beriman kepada sang Pencipta.
      Sesuai dengan yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan didalam kata sambutannya pada buku Pendidikan Karakter dalam pembangunan bangsa maka pendidikan karakter adalah sebuah konsep yang sangat penting dalam pembangunan moral didalam setiap diri individu generasi muda. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) dibeberapa kota besar di Indonesia seperti Jabotabek, Surabaya, Bandung, dan Medan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa data remaja yang pernah melakukan free sex telah mencapai 50% dan melakukan aborsi sebanyak 21%, Dan ini dilakukan pada umur 13 hingga 18 tahun, (PKBI,Rakyat Merdeka, 24 Desember 2006 ).
      Hasil survei yang dilakukan oleh BKKBN ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia memang telah mengalami degradasi moral. Sangat mengejutkan, namun hal ini adalah fakta sebuah persoalan yang tengah dihadapi oleh Indonesia, yang apabila tidak serius dalam penanganannya maka akan semakin tinggi peningkatannya. Permasalahan karakter yang sudah mulai terdegradasi inilah yang barangkali menjadi pikiran utama Menteri Pendidikan dari dua komponen lain yang juga menjadi fokus pemerintah yakni visi, kompetensi, dan karakter.
Pasal 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan keidupan bangsa. Kecerdasan kehidupan bangsa tetap harus dilandasi oleh kemampuan, watak atau karakter dalam koridor peradaban yang bermartabat.    
      Dengan demikian fungsi pendidikan menurut Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 itu adalah untuk membentuk karakter serta peradaban kehidupan bangsa yang bermartabat, ( Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa, 2010). Oleh karena itu, pendidikan adalah hal yang pada dasarnya membawa kehidupan manusia terus-menerus kedalam peradaban yang lebih baik dalam segala hal dan dengan segenap eksistensinya, pendidikan memberikan penanaman nilai kemanusiaan.
      Melalui tujuan Pendidikan Nasional yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan,maka disusunlah suatu rangkaian komponen skill yang diharapkan dapat membantu memudahkan membentuk dan mengembangkan pendidikan karakter sehingga proses memanusiakan manusia dapat terlaksana dengan baik. Berikut rangakaian komponen yang ditawarkan:
-       Peserta didik/individu menentukan terlebih dahulu kegiatan apa yang akan dilakukan,misalnya presentasi kelompok.
-       Kemudian peserta didik membuat tujuan karakter seperti apa yang diinginkan, misalnya karakter cerdas dalam kegiatan presentasi
-       Peserta didik mencoba untuk mencari tahu figur orang sukses siapakah yang dapat membentuk karakter cerdas,misalnya B.J.Habibie, ketika sudah menemukan figur karakter yang ingin dicapai maka cari tau mengenai autobiografinya kemudian tirulah cara hidupnya mencapai kesuksesan
-       Perbanyak membaca, jangan lelah mencari literatur yang berhubungan dengan materi presentasi
-       Aktif dalam proses pembelajaran baik in door maupun out door
        
F.     KESIMPULAN DAN SARAN
      Pendidikan karakter yang memadukan hard skill, soft skill, dan transcendental skill adalah sebuah bentuk rancangan bagaimana implementasi yang semestinya dapat diwujudkan oleh dunia pendidikan. Intinya ialah bagaimana SDM membentuk frame of thingking( cara berpikir) yang terarah sehingga arah pembelajaran pendidikan karakter dapat dirasakan secara nyata dalam pengapllikasian hidup sehari – hari, misalnya konsep reciprocity Marcell Mauss yang dapat dilihat ketika masyarakat memahami makna gotong royong tersebut; sedangkan wujud soft skill  dapat dilihat dari perubahan sikap yang ditunjukkan oleh masing – masing individu melalui sikap saling membantu, menghargai, bekerjasama, etos kerja yang tinggi, inisiatif, mampu beradaptasi, beretika, dan sebagainya; kemudian yang paling pendidikan dan merupakan fondasi dasar ialah transcendental skill yang dapat dilihat ketika masing – masing individu menjalani semuanya dengan rasa ikhlas dan menyakini dalam diri mereka bahwa setiap hal baik yang mereka lakukan dilihat oleh sang pencipta. Melalui satu konsep teori reciprocity, selain peserta didik memahami makna istilah tersebut secara teoritis, ia juga memahaminya secara praktikum di lingkungan kehidupan sehari – hari. Selain itu keluarga, lingkungan, dan sekolah berperan penting bagi pembentukan karakter peserta didik.
       Hard skill, Soft skill dan transcendental skill merupakan sekumpulan komponen utama dalam upaya pembangunan bangsa. Saat ini dunia pendidikan tengah mempersiapkan para peserta didik untuk menjadi agent of change dalam negeri yang bermutu. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan ketiga komponen skill dalam aplikasi hidup sehari – hari. Diakui memang mengubah karakter tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karakter yang dikenal dengan watak adalah suatu hal yang tidak mudah dibentuk atau diubah dalam jangka waktu yang singkat. Namun, ini dapat diaplikasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran/mata kuliah dan pengaktifan, penguatan dan pengontrolan organisasi keagamaan seperti Ikatan Remaja Mesjid. Setiap materi pembelajaran yang berkaitan dengan unsur – unsur hard skill, soft skill, dan transcendental skill perlu dikembangkan, diaplikasikan, dan dihayati dalam kehidupan sehari – hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tahapan aspek kognitif saja, akan tetapi merambah pada aspek afektif, psikomotorik, dan transendensi dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Elfindri,dkk.2010. Soft skills untuk Pendidik. Banduose Media.
Gea, Antonius Atosokhi, dkk. 2003. Character Building II – Relasi dengan Sesama.Jakarta : Gramedia
Goleman,Daniel.1996. Emotional Intelligence – Kecerdasaan Emosional- Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prayitno, Belferik Manulang. 2010. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Medan : Pasca Sarjana Unimed
Rismawaty.2008. Kepribadian dan Etika Profesi. Bandung:Graha Ilmu.
Sukmadinaja,Nana Syaodih.2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:Rosda.
Suryabrata.Sumadi.2008. Psikologi Pendidikan.Jakarta:Grafindo Persada.
Thontowi, Ahmad. 1991. Psikologi Pendidikan. Bandung : Angkasa
Universitas Negeri Medan (FIP).2011.Diktat Filsafat Pendidikan. Medan
Sudrajat,Ahkmat.2010.Tentang Pendidikan Karakter. Available : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/
----------Hard skill dan Soft skill. Available: http://artikelbisnispemula.blogspot.com/2009/11/kompetisi-antara-hard-skill-atau-soft.html. Akses 18 Nopember 2010
----------Antara Hard skill dan Soft skill.source: http://www.infocomcareer.com dalam http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php.judul=Antara%20Hard%20Skill%20dan%20Soft%20Skill&&nomorurut_artikel=212


*merupakan mahasiswa Prodi Pendidikan Antropologi FIS-Universitas Negeri Medan

[1] Merupakan defenisi yang diambil dari diktat Mata Kuliah Filsafat Pendidikan, disusun oleh Tim pengajar FIP – Universitas Negeri Medan, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar