Kamis, 24 November 2011

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SEKOLAH DI TINJAU DARI FILSAFAT PENDIDIKAN

Nama              : Firman Alvian Zega
Nim                 : 309 422 001
M.Kuliah        : Filsafat Pendidikan

A.    Pendahuluan
Orang pada zaman sekarang ini telah meyakini tentang eksistensi pendidikan dari yang sifatnya umum sampai kepada yang khusus. Keyakinan ini makin hari diperkuat dengan berkembangnya metode pengukuran dan cara analisa yang dapat dipercaya untuk menghasilkan data yang dapat dipercaya. Dengan bahasa ilmiah lazim dikatakan “Apa yang ada itu dapat dihayati karena dapat diukur”. Prinsip dasar yang dikemukakan oleh Thorndike ini menjadi salah satu motor penggerak pengembangan ilmu pendidikan, yang pada waktu ini dapat dihayati dengan pengungkapan data kuantitatif yang merupakan salah satu dari kekayaannya. Tugas ilmu menjadi lebih Nampak hasilnya bila telah sampai pada terjangkaunya hasil-hasil penelitian yang pengujian hipotesa, laporan serta rekomendasinya.
Di samping pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya kuantitatif seperti tersebut di atas, ada yang lain-lain yang memerlukan jawab yang dapat menunjukkan hakiki dan ke arah mana pendidikan itu di bawa. Misalnya: Untuk apakah sebenarnya sekolah itu didirikan? Anak didik itu ada sebagai ia berada, sedangkan masyarakat dan Negara menginginkan anak didik terbina sesuai dengan ideologi yang telah digariskan. Maka timbul pertanyaan apakah yang seharusnya pendidik lakukan untuk memimpin anak didik itu untuk mengujudkan tujuan di atas.
Jawab mengenai pertanyaan pertama seharusnya berkisar pada atau landasan pikiran bahwa pendidikan memerlukan suatu lembaga di luar keluarga, yang mempunyai peranan bagi terbinanya masyarakat yang ideal. Sedangkan untuk pertanyaan kedua diperlukan jawab yang berupa konsep-konsep tentang isi dan proses pendidikan yang mempertemukan potensi anak didik dan gambaran manusia ideal menurut masyarakat dan Negara itu. Dua jenis pertanyaan mengenai pendidikan di atas bersifat filosofis yang memerlukan jawab filosofis pula. Maka dari itu dimasukkan ke dalam bidang filsafat pendidikan.

B.     Pembahasan
Sejarah dan perkembangan sekolah Konsep pengelompokan siswa bersama-sama dalam sebuah lokasi terpusat untuk belajar telah ada sejak zaman klasik. Sekolah formal telah ada setidaknya sejak Yunani kuno, India kuno dan Cina kuno. Kekaisaran Bizantium memiliki sistem pendidikan yang mapan yang dimulai pada tingkat dasar. Menurut Tradisi dan Encounters, pendirian sistem pendidikan dasar dimulai pada tahun 425 AD dan "... personil militer biasanya memiliki setidaknya pendidikan dasar ...". Efisien dan yang kadang-kadang sering pemerintah besar Kekaisaran berarti bahwa warga negara yang terdidik suatu keharusan. Meskipun Byzantium kehilangan banyak kemegahan budaya Romawi dan pemborosan karena kebutuhan untuk bertahan hidup, kekaisaran menekankan efisiensi dalam perang. Sistem pendidikan Bizantium berlanjut hingga runtuhnya kekaisaran pada tahun 1453 AD. Islam adalah kebudayaan lain untuk mengembangkan sistem pendidikan dalam pengertian modern. Penekanan diletakkan pada pengetahuan, karena itu cara yang sistematis mengajar dan penyebaran pengetahuan dikembangkan dalam s tujuan truktur yang dibangun. Pada awalnya, masjid menggabungkan kinerja keagamaan dan kegiatan belajar. Pada abad kesembilan, Madrasah diperkenalkan, sekolah yang dibangun secara independen dari masjid. Mereka juga yang pertama membuat sistem Madrasah milik umum di bawah kendali khalifah. Madrasah Nizamiyya dianggap secara konsensus oleh para ahli menjadi awal sekolah yang masih bertahan, dibangun menuju 1066 Masehi oleh Emir Nizam Al-Mulk. Dibawah Dinasti Utsmani, kota Bursa dan Edirne menjadi pusat-pusat belajar utama. Sistem Ottoman Kulliye, sebuah bangunan yang berisi kompleks masjid, rumah sakit, madrasah, dan dapur umum dan area makan, merevolusi sistem pendidikan, membuat pembelajaran yang dapat diakses publik yang lebih luas melalui makanan gratis, perawatan kesehatan dan kadang- kadang gratis akomodasi. Sejarawan abad kesembilan belas, Scott menyatakan bahwa korespondensi yang luar biasa ada antara prosedur yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga dan metode-metode masa kini. Mereka memiliki kursus perguruan tinggi mereka, mereka hadiah untuk kecakapan dalam beasiswa, mereka kontes pidato dan puitis, tanggal-tanggal mereka dan derajat mereka. Di departemen kedokteran, yang parah dan berkepanjangan pemeriksaan, yang dilakukan oleh dokter yang paling terkemuka ibukota, yang dituntut dari semua kandidat berkeinginan mempraktekkan profesi mereka, dan seperti tidak mampu bertahan dalam ujian kompeten diucapkan secara resmi.
Di Eropa selama Abad Pertengahan dan sebagian besar periode Modern Awal, tujuan utama sekolah (sebagai lawan dari universitas) adalah untuk mengajar bahasa Latin. Hal ini menyebabkan istilah tata bahasa yang sekolah di Amerika Serikat digunakan secara informal untuk mengacu ke sekolah dasar tetapi di Kerajaan Inggris berarti sekolah yang memilih pendatang pada kemampuan atau bakat mereka. Setelah ini, kurikulum sekolah secara bertahap diperluas dengan memasukkan keaksaraan dalam bahasa daerah serta teknis, artistik, ilmiah dan praktis mata pelajaran. Sebelumnya banyak dari sekolah umum di Amerika Serikat adalah sekolah dengan hanya satu guru mengajar tujuh anak laki-laki dan perempuan di kelas yang sama. Dimulai pada tahun 1920-an, sekolah-sekolah itu digabungkan dalam beberapa fasilitas ruang. Tinjauan Umum tentang Filsafat Pendidikan Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Tegasnya, filsafat adalah karya akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Filsafat merupakan ilmu atau pendekatan yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) yang seringkali disebut sebagai raksasa pemikir Barat, filsafat adalah ilmu pokok yang merupakan pangkal dari segala pengetahuan. Karena luasnya lapangan filsafat, orang sepakat mempelajari filsafat dengan dua cara, yaitu mempelajari sejarah perkembangannya (metode historis) dan mempelajari isi atau pembahasannya dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari sejarah perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Dalam metode sistematis orang membahas isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan sejarahnya. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang- bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan yang buruk dalam perbuatan manusia. Dalam metode sistematis ini para filsuf dikonfrontasikan tanpa mempersoalkan periodasi masing-masing. Filsafat itu sangat luas cakupan pembahasannya, yang ditujunya adalah mencari hakihat kebenaran atas segala sesuatu yang meliputi kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), serta mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika. Dengan memperhatikan sejarah serta perkembangannya, filsafat mempunyai beberapa cabang yaitu: (1) Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden dan berada di luar jangkauan pengalaman manusia; (2) Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah; (3) Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk; (4) Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek; (5) Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan; (6) Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Filsafat akan memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, tentang kebenaran. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru serta membangun keyakinan atas dasar kematangan intelektual. Filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi dapat dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup secara baik, bagaimana hidup secara baik dan bahagia. Dengan kata lain, tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian). Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat diterapkan dalam aspek- aspek kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak hanya melahirkan pengetahuan banu, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi. John Dewey (1964) berpendapat bahwa filsafat merupakan teon umum tentang pendidikan. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban filosofis pula. Setiap praktik pendidikan atau pembelajaran tidak terlepas dari sejumlah masalah dalam mencapai tujuannya. Upaya pemecahan masalah tersebut akan memerlukan landasan teoretis-filosofis mengenai apa hakikat pendidikan dan bagaimana proses pendidikan dilaksanakan. Henderson dalam Sadulloh (2004) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek pendidikan merupakan suatu sumbangan yang berharga dalam pengembangan pendidikan, baik pada tataran teoretis maupun praktis. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan cabang-cabangnya (metafisika, epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari pemikiran tentang pendidikan. Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil, pendidikan akan berhubungan dengan tata nilai. Persoalan kuriikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan untuk menentukan tujuan akhir pendidikan. Metafisika memberikan sumbangan pemikiran dalam membahas hakikat manusia pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan hakikat anak.
Menentukan tujuan akhir pendidikan. Mempelajari metafisika perlu sekali untuk mengontrol tujuan pendidikan dan untuk mengetahui bagaimana dunia anak. Epistemologi sebagai teori pengetahuan, tidak hanya menentukan pengetahuan mana yang harus dipelajari tetapi juga menentukan bagaimana seharusnya siswa belajar dan bagaimana guru mengajar. Pendidikan perlu mengetahui persoalan belajar untuk mengembangkan kurikulum, proses dan metode belajar. Aksiologi akan menentukan nilai-nilai yang baik dan yang buruk yang turut menentukan perbuatan pendidikan. Aksiologi dibutuhkan dalam pendidikan, karena pendidikan harus menentukan nilai-nilai mana yang akan dicapai melalui proses pendidikan. Disadari atau tidak, pendidikan akan berhubungan dengan nilai, dan pendidikan harus menyadari kepentingan nilai- nilai tersebut. Dalam arti luas filsafat pendidikan mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001). Filsafat praktek pendidikan membahas tentang bagaimana seharusnya pendi-dikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia mencakup filsafat praktek pendidikan dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat ilmu pendidikan adalah analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai bentuk teori pendidikan. Aspek filsafat dalam ilmu pendidikan dapat dilihat berdasarkan empat kategori sebagai berikut: (1) Ontologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan; (2) Epistemologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan; (3) Metodologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan; (4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan. Kajian terhadap fisafat pendidikan akan memadukan keempat aspek tersebut di atas sebagai landasan dalam menjawab tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut: (1) Apakah sebenarnya pendidikan itu? (2) apakah tujuan pendidikan sebenarnya? dan (3) Dengan cara apa tujuan pendidikan itu dapat dicapai? (Henderson, 1959). Jawaban masalah pokok tersebut tertuang dalam: (1) Tujuan pendidikan: (2) Kurikulum, (3) Metode pendidikan, (4) Peranan peserta didik; dan (5) Peran tenaga pendidik. Dalam sejarah perkembangan filsafat telah lahir sejumlah aliran filsafat. Dengan adanya aliran-aliran filsafat, maka konsepsi mengenai filsafat pendidikan telah dipengaruhi oleh aliran- aliran tersebut. Dengan memperhatikan obyek filsafat dan masalah pokok pendidikan, selanjutnya akan dibahas aliran filsafat idealisme dan realisme dalam melandasi pengembangan teori pendidikan.
Konsep Sekolah yang Baik dari Tinjauan Filosofis Pendidikan Penyelenggaraan sekolah yang baik perlu didasari filosofi pendidikan. Filosofi ini harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menum-buhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Filosofi itu juga harus berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ). Filosofi itu juga harus menekankan bahwa pendidikan berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai kepada integritas penyelenggaranya. 1. Filsafat Pendidikan Progresivisme Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Selama dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan yang kuat di Amerika Serikat. Banyak guru yang ragu-ragu terhadap gerakan ini, karena guru telah mempelajari dan memahami filsafat Dewey, sebagai reaksi terhadap filsafat lainnya. Kaum progresif sendiri mengkiritik filsafat Dewey. Perubahan masyarakat yang dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi, sedangkan kaum progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat, agar lebih cepat mencapai tujuan. Gerakan progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap formalisme dan sekolah tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras, belajar pasif dan banyak hal-hal yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Lebih jauh gerakan ini dikenal dengan imbauannya kepada guru-guru : “Kami mengharapkan perubahan serta kemajuan yang lebih cepat setelah perang dunia pertama”. Banyak guru yang mendukungnya, sebab gerakan pendidikan progeresivisme merupakan semacam kendaraan mutahhir, untuk digelarkan. Orang-orang progresif merasa bahwa kehidupan itu berkembang dalam suatu arah positif dan bahwa umat manusia, muda maupun tua, baik dan dapat dipercaya untuk bertindak dalam minat-minat terbaik mereka sendiri. Berkenaan dengan ini, para pendidik (ahli pendidikan) yang memiliki suatu orientasi progresif memberi kepada para siswa sejumlah kebebasan dalam menentukan pengalaman-pengalaman sekolah mereka. Sekalipun demikian, pendidikan progresif tidak berarti bahwa para guru tidak memberi struktur atau para siswa bebas melaksanakan apapun yang mereka inginkan. Guru-guru progresif memulai dengan posisi di mana keberadaan siswa dan, melalui interaksi keseharian di kelas, mengarahkan siswa untuk melihat bahwa mata pelajaran yang akan dipelajari dapat meningkatkan kehidupan mereka. Peran guru dalam suatu kelas yang berorientasi secara progresif adalah berfungsi sebagai seorang pembimbing atau orang yang menjadi sumber, yang pada intinya memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi pembelajaran siswa. Orang berhubungan dengan membantu para siswa mempelajari apa yang penting bagi mereka bukannya memberikan sejumlah kebenaran yang dikatakan abadi. Terhadap tujuan ini, guru progresif berusaha untuk memberi siswa pengalaman-pengalaman yang mereplikasi/meniru kehidupan keseharian sebanyak mungkin. Para siswa diberi banyak kesempatan untuk bekerja secara kooperatif di dalam kelompok, seringkali pemecahan masalah yang dipandang penting oleh kelompok ini, bukan oleh guru. Proses belajar terpusat kepada anak, namun hal ini tidak berati bahwa anak akan diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia belum cukup matang untuk menentukan tujuan yang memadai. Anak memang banyak berbuat dalam menentukan proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya. Pengalaman anak adalah rekontruksi yang terus-menerus dari keinginan dan kepentingan pribadi. Mereka aktif bergerak untuk mendapatkan isi mata pelajaran yang logis. Guru mempengaruhi pertumbuhan siswa, tidak dengan menjejalkan informasi anak, melainkan dengan pengawasan lingkungan di mana pendidikan berlangsung. Pertumbuhan diartikan sebagai peningkatan intelegensi dalam pengelolaan hidup dan adaptasi yang intelegen (cerdas) terhadap lingkungan. Peranan guru adalah membimbing siswa-siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan kegiatan proyek. Mungkin akan banyak guru yang kurang senang terhadap peran ini, karena didasarkan atas suatu anggapan bahwa siswa mampu berpikir dan mengadakan penjelajahan terhadap kebutuhan dan minat sendiri. Guru harus menolong siswa dalam menentukan dan memilih masalah-masalah yang bermakna, menemukan sumber-sumber daya yang relevan, menafsirkan dan menilai akurasi data, serta merumuskan kesimpulan. Guru harus mampu mengenali siswa, terutama pada saat apakah ia memerlukan bantuan khusus dalam suatu kegiatan, sehingga ia dapat meneruskan pendidikannya. 2. Filsafat Pendidikan Perenialisme Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidak pastian, dan ketidak teraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan tersebut. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis, adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Peradaban kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa, dari abad ke abad. Pandangan-pandangan yang telah jadi dasar budaya manusia tersebut, telah teruji kemampuan dan kekukuhannya oleh sejarah. Pandangan-pandang Plato dan Aristoteles mewakili peradaban Kaum perenialis percaya bahwa ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh tersebut memiliki kualitas yng dapat dijadikan tuntunan hidup dan kehidupan manusia pada abad kedua puluh ini.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpadangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh dengan kekacauan serta membahayakan, seperti kita rasakan dewasa ini, tidak ada satu pun yang lebih bermafaat dari pada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Beberapa prinsip pendidikan perenialisme secara umum, yaitu: a. Walaupun perbedaan lingkungan, namun pada hakikatnya manusia dimana pun dan kapan pun ia berada adalah sama. Robert M. Hutckin sebagai pelopor perenialilsme di Amerika Serikat, mengemukakan bahwa manusia pada hakikatnya adalah hewan rasional (ini adalah pandangan Aritoteles). Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebajikan dan kebajikan. Pendidikan harus sama bagi semua orang, dimana pun dan kapan pun ia berada, begitu pula tujuan pedidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia. Hal diatas dikemukakan oleh Hutckin sebagai berikut : “Man may very from society to society,…..but the function of man, is the same in every age and every socienty, since it results from his nature as a man. The aims of educational system can exist : it is to improve man as man”. b. Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesui dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol pikirannya. Apabila anak gagal dalam belajar, guru tidak boleh dengan cepat meletakan kesalahan pada lingkungan yang tidak menyenangkan. Guru harus mampu meengatasi semua gangguan tersebut, dengan melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia inginkan. c. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti, dan abadi. Kurikulum diorganisasi dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditunjukan untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Anak harus diberi pelajaran yang pasti, yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Anak tidak boleh dipaksa untuk mempelari pelajaran yang tampaknya penting suatu saat saja. Begitu pula kepada anak janga memberikan pelajaran yang hanya menarik pada saat-saat tertentu yang khusus. dipentingkan dalam kurikulum adalah mata pelajaran “general education”, yang meliputi bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3 Rs (membaca, menulis, berhitung). Mata-mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari general education. d. Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup, melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan yang artifisial di mana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya. e. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, begitu juga dalam literatur yang berhubungan dengan kehuidupan sosial, terutama politik dan ekonomi. Dalam literatur-literatur tersebut manusia sepanjang masa telah melahirkan hasil yang maha besar. Mohammad Noor Syam mengemukakan pandangan bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisma memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekaranng seperti dalam kebudayaan ideal. Perenialisme tidak melihat jalan yang meyakinkan, selain kembali pada prinsip-prinsip yang telah sedemikian rupa membentuk sikap kebiasaan, bahwa kepribadian manusia yaitu kebudayaan dahulu (Yunani Kuno) dan kebudayaan abad pertengahan. 3. Filsafat Pendidikan Esensialisme Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya, seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1939 mereka membetuk suatu lembaga yang disebut “The esensialist Commite for the Advancement of American University”. Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada “Teacher College”, Columbia University. Ia yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejartah pada generasi muda. Tujuan pendidikan adalah untuk merumuskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalm kurun waktu dan dikenal oleh semua orang pengetahuan tersebut bersama dengan skill, sikap, dan nilai-nilai yang memadai, akan mewujudkan elemen-elemen pendidikan yang esensial. Tugas siswa adalah menginternalisasikan atau menjadikan milik pribadi elemen-elemen tersebut.
Selain merupakan warisan budaya, tujuan pendidikan esensialisme adalah “mepersiapkan manusia untuk hidup”. Namun, hidup tersebut sangat kompleks dan luas, sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk hidup tersebut berada diluar wewenang sekolah. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah tidak dapat memberikan kontribusi terutama bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, terutama tujuan pelajaran yang dapat mempertanggung jawabkan, yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan manusia hidup. Ahli pendidikan esensialis tidak memandang anak sebagai orang jahat, dan tidak pula memandang anak sebagai orang yang secara almiah baik. Anak-anak tersebut tidak akan menjadi anggota masyarakat yang berguna, kecuali kalau anak-anak secara aktif dan penuh semangat diajarkan nilai disiplin, kerja keras, dan rasa hormat pada pihak berwenang punya otoritas. Kemudian, peran guru adalah membentuk para siswa, menangani insting-insting alamiah dan noproduktif mereka (seperti, agresi, kepuasan indera tampa nalar, dll) dibawah pengawasan sampai pedidikan mereka selesai. Prinsip-prinsip pendidikan esensialisme dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari dalam diri siswa. b. Inisiatif dalam pendidikan ditentukan pada guru, bukan pada siswa. Peranan guru adalah menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia anak. Guru disiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas diatas, sehingga guru lebih berhak untuk membimbing pertumbuhan siswa-siswanya. c. Inti proses pendidikan adalah asmilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasi dan direncanakan dengan pasti oleh orang dewasa. Pandangan ini sesuai dengan filsafat realisme bahwa secara luas lingkungan material dan sosial, adalah manusia yang menentukan bagaimana seharusnya ia hidup. Esensialisme mengakui bahwa pendidikan akan mendorong individu merealisasikan potensiatisnya. Namun, realisasinya harus berlangsung dalam dunia yang bebas dari perorangan. Oleh karena itu, sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat kepada masyarakat “society centered school”, sebab kebutuhan dan minat sosial diutamakan. Minat individu dihargai, namun diarahkan agar siswa tidak menjadi orang yang mementingkan dirinya sendiri. (egoistis, selfish).
Sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental. Ensensialisme mengakui bahwa metode pemecahan masalah (problem solving) ada faedahnya, namun bukan suatu prosedur untuk dilaksanakan bagi seluruh proses belajar. Pendapat tersebut disadari oleh pandangan bahwa kebanyakan pengetahuan adalah abstrak dan tidak dapat dipecahkan ke dalam masalah-masalah yang konkrit. e. Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum merupakan tuntutan demokrasi yang nyata. Selanjutnya mengenai peranan guru banyak persamaannya dengan perenilisme. Guru dianggap sebagai seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus, dan merupakan model contoh yang sangat baik untuk ditiru dan digugu. Guru merupakan orang yang menguasai pengetahuan, dan kelas berada dibawah pengaruh dan pengawasan guru. 4. Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme Sebagaimana yang dinyatakan oleh Caroline Pratt (1948), seorang rekonstruksionis sosial yang berpengaruh periode itu. “nilai terbesar suatu sekolah harus menghasilkan manusia-manusia yang dapat berpikir secara efektif dan bekerja secara konstruktif, yang saat bersamaan dapat membuat suatu dunia yang lebih baik dibandingkan dengan sekarang ini untuk hidup di dalamnya”. Singakatnya, sekolah-sekolah tidak hanya harus mentrasmisikan pengetahuan mengenai tatanan sosial yang ada, melainkan juga harus berusaha merekontruksi-nya. Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir di dasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Rekontruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Sekolah merupakan agen utama untuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Tugas sekolah adalah mengembangkan. “rekayasa sosial”, dengan tujuan mengubah seara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat yang akan datang. Sekolah memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan secara sendiri-sendiri sebagai pengaruh dari progresivisme.
Teori pendidikan rekontruksionisme yang dikemukakan oleh Brameld terdiri atas 5 tesis, yaitu : a. Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial yang baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus menseponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh karena itu, kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui pendidikan bagi para warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka bersama. b. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, di mana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri. Semua yang mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, industri, dan sebagainya, semuanya akan menjadi tanggung jawab rakyat, melalui wakil-wakil yang dipilih. Masyarakat ideal adalah masyarakat demokratis, dan harus direalisasikan secara demokrasi. Struktur, tujuan, dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan baru harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat. c. Anak, sekolah, dan pendidikan ini sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut Brameld, kaum progresif terlalu sangat menekankan bahwa kita semua dikondisikan secara sosial. Perhatikan kaum progresif hanya untuk mencari cara di mana individu dapat merealisasikan dirinya dalam masyarakat, dan mengabaikan derajat di mana masyarakat telah menjadikan dirinya. Menurut rekontruksionisme, hidup beradap adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Pendidikan merupakan realisasi dan sosial (social self realization). Melalui pendidikan, individu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya melainkan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam perencanaan sosial.
      Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus melaksanakan pengujian secara terbuka terhadap fakta-fakta, walaupun bertentangan dengan pandangannya. Guru menghadirkan beberapa pemecahan alternatif dengan jelas, dan ia memperkenankan siswa-siswanya untuk mempertahankan pandangan- pandangan mereka sendiri. e. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting dari sains sosial adalah mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai, di mana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal. f. Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih. Semua itu harus dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum di mana pokok-pokok dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi komponen pengetahuan. Mengenai peranan guru, paham rekontruksionisme sama dengan paham progresivisme. Guru harus menyadarkan si terdidik terhadap masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga terdidik memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong terdidik untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah serta mampu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda. Gambar-3 Salah satu contoh Filosofis Pendidikan Sekolah di Korea - KID'S COLLEGE
Pentingnya Filsafat Pendidikan Bagi Pendidik Dalam bentuk yang paling sederhana, filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seseorang mengenai pendidikan, merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional seseorang. Lebih jauh lagi, filsafat pendidikan berkaitan dengan “penetapan hakikat dari tujuan, alat pendidikan, dan kemudian menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam kebijakan-kebijakan untuk meng-implementasikannya. Setiap guru apakah mengetahuinya ataupun tidak, memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Tentu saja para guru berbeda berkenaan dengan banyaknya usaha yang mereka curahkan pada perkembangan filsafat pribadi atau platform pendidikan. Sebagian dari mereka merasa bahwa refleksi-refleksi filosofis tidak memiliki kontribusi apa-apa pada tindak pengajaran aktual (pendirian ini, tentu saja, merupakan suatu filsafat pendidikan tersendiri). Guru-guru lainnya mengetahui bahwa pengajaran, karena berkaitan dengan apa yang seharusnya, pada dasarnya merupakan suatu urusan filsafat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh John Dewey, berhubungan dengan pendidikan berarti berhubungan dengan filsafat: “Jika kita mau membayangkan pendidikan sebagai suatu proses membentuk disposisi (watak) fundamental, intelektual dan emosional terhadap alam raya dan sesama manusia, filsafat dapat didenfinisikan sebagai teori umum pendidikan”. Filsafat pendidikan juga secara vital berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan pada banyak permasalahan pendidikan. Lima tujuan filsafat pendidikan dapat mengklarifikasi bagaimana dapat berkontribusi pada pemecahan-pemecahan tersebut: 1. Filsafat pendidikan terkait dengan peletakan suatu perencanaan, apa yang dianggap sebagai pendidikan terbaik secara mutlak. 2. Filsafat pendidikan berusaha memberikan arah dengan merujuk pada macam pendidikan yang terbaik dalam suatu konteks politik, sosial, dan ekonomi. 3. Filsafat pendidikan dipenuhi dengan koreksi pelanggaran-pelanggaran prinsip dan kebijakan pendidikan. 4. Filsafat pendidikan memusatkan perhatian pada isu-isu dalam kebijakan dan praktek pendidikan yang mensyaratkan resolusi, baik dengan penelitian empiris maupun pemeriksaan ulang yang rasional. Filsafat pendidikan melaksanakan sutatu inkuiri dalam keseluruhan urusan pendidikan dengan suatu pandangan terhadap penilaian, pembenaran, dan pembaharuan sekumpulan pengalaman yang tunggang-tungging untuk pembelajaran yang tinggi. Terdapat suatu hubungan yang kuat antara perilaku seseorang merupakan keyakinannya mengenai pengajaran dan pembelajaran, kehidupan pengetahuan, dan apa yang bermanfaat untuk diketahui. Terlepas di mana seseorang berdiri berkenaan dengan kelima dimensi pengajaran tersebut, guru harus tahu perlunya merefleksikan (memikirkan) secara berkelanjutan pada apa yang ia sangat yakini dan kenapa ia meyakininya. Pengaruh keyakinan guru terhadap perilaku mengajar itu adalah : 1. Keyakinan Mengenai Pengajaran dan Pembelajaran Salah satu dari komponen yang paling penting dari filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana ia memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Apakah guru merupakan seorang ahli subyek ajar yang dapat secara efesien dan efektif memberikan pengetahuan pada para siswa? Apakah guru adalah orang yang berguna yang membangun hubungan-hubungan kepedulian bersama siswa dan memelihara perkembangan dalam bidang-bidang yang diperlukan? Atau apakah guru adalah seorang teknisi terampil yang dapat mengelola pembelajaran dari banyak siswa sekaligus? Terdapat beberapa pandangan mengenai konsepsi dasar pengajaran. Sebagian orang memandang pengajaran sebagian sains, merupakan suatu aktivitas kompleks, namun dapat direduksi ke dalam sekumpulan perilaku tertentu yang terpisah-pisah dan yang secara objektif ditentukan. Bagi orang lain, pengajaran dipandang sebagai suatu seni, merupakan suatu pertemuan yang spontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan siswa. Bagi yang lainnya, pengajaran adalah suatu aktivitas yang merupakan sains dan seni, aktivitas ini mensyaratkan implementasi artistik (atau intuitif) dari prosedur-prosedur yang ditentukan secara ilmiah.
Berkenan dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman- pengalaman dan kognisi individual siswa, dan yang lainnya menekankan perilaku siswa. Pembelajaran menurut sudut pandang pertama dipandang sebagai perubahan-perubahan dalam pikiran dan tindakan yang berasal dari pengalaman pribadi, yakni pembelajaran yang sebagian besar merupakan hasil dan kekuatan-kekuatan internal pada diri individu. Pandangan kedua mendefinisikan pembelajaran sebagai asosiasi antara beragam stimulus dan respon. Di sini, pembelajaran berasal dari kekuatan-kekuatan yang bersifat eksternal pada individu. 2. Keyakinan Mengenai Siswa Keyakinan seorang guru mengenai siswa akan memiliki suatu pengaruh besar pada bagaimana guru tersebut mengajar. Setiap guru merumuskan suatu citra dalam benaknya mengenai seperti apakah siswa, kecenerungan, keterampilan, tingkatan motivasi, dan pengharapan mereka. Seperti apakah siswa yang guru yakini itu didasarkan pada pengalaman kehidupan unik guru tersebut, khususnya observasi-observasi guru terhadap orang-orang muda dan pengetahuan guru tentang pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pandangan-pandangan negatif terhadap siswa dapat menampilkan hubungan guru siswa yang didasarkan pada ketakutan dan penggunaan kekerasan bukannya didasarkan pada kepercayaan dan kemanfaatan. Pandangan yang benar-benar positif (ekstrim) dapat beresiko tidak memberikan kepada para siswa struktur dan arah yang memadai dan tidak mengkomunikasikan secara memadai terhadap pengharapan-pengharapan yang tinggi. Dalam analisis akhirnya, guru yang benar-benar profesional, yaitu guru yang memiliki suatu pemikiran yang cermat tentang filsafat pendidikan, mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan-kecenderungan untuk belajar dan tumbuh. Berkenan dengan keyakinan-keyakinan mengenai siswa, penting bagi guru membawa sikap-sikap positif terhadap para siswa mereka dan suatu keyakinan yang dapat mereka pelajari. 3. Keyakinan Mengenai Pengetahuan Pandangan seorang guru tentang pengetahuan secara langsung berkaitan dengan bagaimana ia melaksanakan pengajaran. Jika pengetahuan dipandang sebagai sekumpulan keseluruhan potongan-potongan kecil subyek ajar atau fakta yang terpisah-pisah.
siswa sangat dimungkinkan akan menghabiskan sejumlah besar waktunya/ mempelajari informasi itu dalam suatu cara hapalan langsung. 4. Keyakinan Mengenai Apa yang perlu diketahui Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun para guru berbeda berkenaan dengan apa yang mereka yakini apa yang harus diajarkan.20 Guru A merasa bahwa yang paling penting, siswa mempelajari keterampilan- keterampilan dasar membaca, menulis, menghitung dan berkomunikasi lisan. Keterampilan-keterampilan ini akan mereka perlukan agar sukses dalam pekerjaan- pekerjaan yang mereka perlukan agar sukses dalam pekerjaan-pekerjaan yang mereka pilih, dan merupakan tanggung jawab sekolah mempersiapkan para siswanya untuk dunia kerja. Guru B yakin bahwa muatan yang paling berharga akan ditemukan dalam buku-buku klasik atau buku-buku besar. Melalui penguasaan gagasan-gagasan besar dari sains, matematika, literatur dan sejarah, para siswa akan siap untuk berurusan dengan dunia masa depan. Guru C yang paling berhubungan dengan pembelajaran siswa bagaimana harus bernalar, berkomunikasi secara efektif, dan memecahkan permasalahan. Para siswa yang menguasai proses-proses kognitif ini akan belajar bagaimana belajar, dan ini merupakan persiapan yang paling realistis untuk masa depan yang tidak diketahui. Guru D berhubungan dengan pengembangan anak secara keseluruhan, mengajar siswa menjadi orang-orang yang mengaktualisasikan diri. Jadi, muatan kurikulum harus bermakna bagi siswa, yang memberikan kontribusi sebanyak mungkin pada usaha-usaha siswa untuk menjadi orang yang matang dan utuh (well-integrated). Keyakinan-keyakinan guru mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan pengetahuan apakah yang paling berharga, merupakan landasan filsafat pendidikannya. Ali Saifullah dalam pembahasannya tentang pentingnya mempelajari filsafat pendidikan bagi setiap pendidik atau guru seperti : a. Memberi kesempatan kepada setiap pendidik untuk membiasakan diri mengadakan perenungan mendalam, atau berteori, betapapun kurang atau belum sempurnanya teori tersebut. b. Akan memberikan pengertian yang mendalam akan problema esensial dan dasar-dasar pertimbangan mana yang harus kita gunakan dalam menyelesaikan problema pendidikan.
Membiasakan para pendidik dan guru agar mengutamakan berpikir kritis dan reflektif dalam menyelesaikan problema-problema kehidupan dan penghidupan manusia, dan terutama problema yang mendasar dalam pendidikan. d. Memberikan kesempatan pada pendidik dan guru untuk selalu berusaha meninjau kembali pandangan dasar-dasar filsafat pendidikan yang selama ini diyakini kebenarannya. e. Bahwa berdasar atas kenyataan keragaman aliran-aliran filsafat pendidikan, dalam pengertian betapa banyaknya pandangan tentang dasar-dasar dan tujuan pendidikan, maka dituntut kepada mereka para pendidik dan guru untuk meninjau segala perbedaan tersebut secara kritis, reflektif, bebas dan terbuka.21 Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui dan memahami filsafat dan filsafat pendidikan. Tidak boleh buta terhadapnya, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dimengerti sepenuhnya tanpa mengetahui tujuan akhirnya. Tujuan akhir pendidikan perlu dipahami dalam kerangka hubungannya dengan tujuan hidup tersebut, baik tujuan individu maupun tujuan kelompok.

KESIMPULAN

Pengertian filsafat pendidikan ialah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Karenanya, dengan bersifat filosofis, bermakna bahwa filsafat pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisa filosofis terhadap bidang pendidikan. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lainnya. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran dalam filsafat itu sendiri. Penulis kemukakan “sekurang-kurangnya”, karena masih terdapat filsafat pendidikan, yang merupakan suatu elektik dari berbagai pandangan filsafat pendidikan yang telah ada. Akan tetapi aliran pemikiran filosofis itu dapat diklasifikasikan dalam empat aliran utama yaitu Progresivisme, Essensialisme, Prenialisme, dan Kontruksionisme. Sekolah yang baik perlu mempunyai filosofis pendidikan yang baik pula. Filosofi ini harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menum-buhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Filosofi itu juga harus berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ). Seorang pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, penting mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berkaitan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dimengerti sepenuhnya tanpa mengetahui tujuan akhirnya pendidik sebagai pribadi memiliki tujuan dan pandangan hidupnya. Pendidik sebagai warga masyarakat atau warga negara mempunyai tujuan hidup bersama, tujuan akhir pendidikan penting dipahami dalam kerangka hubungannya dengan tujuan hidup tersebut baik tujuan individu maupun tujuan kelompok.

REFERENSI

Filsafat pendidikan, Prof.Imam Bernadib, M.A.,Ph.D
Matinya Pendidikan, Neil Postman
Ilmu Dalam Perspektif, Jujun S.Suriamantri


Tidak ada komentar:

Posting Komentar