Senin, 21 November 2011

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN PENDIDIKAN “Perbedaan Konsep dengan Pelaksaan”



*Musdarwinsyah
       I.            Pendahuluan
Di dunia ini, hampir semua manusia dikenai pendidikan dan melaksanakan pendidikan. Oleh karena itu pendidikan tidak pernah terpisah dengan manusia. Pendidikan (TIM Pengajar filsafat pendidikan UNIMED: 2011: 10) dapat diartikan sebagai suatu wahana yang dibentuk untuk membawa peserta didik mencapai tingkat perkembangan optimal sesuai dengan potensi pribadinya sehingga menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidup nya sebagai manusia, sesuai dengan hakiki dan ciri-ciri kemanusiaannya. Sedangkan menurut Prof. Dr. Nurcholis Madjid, pendidikan adalah investasi terbaik bangsa ini ke depan. Investasi tersebut baru dipetik hasilnya mungkin dua puluh lima tahun mendatang atau bahkan satu generasi. Upaya ini membutuhkan proses panjang, dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, konsisten, dan intensif. Investasi tersebut harus terus dikembangkan karena tantangan globalisasi sudah di depan mata. Mau tidak mau, itulah fakta yang harus diterima.
Dari kedua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan begitu penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan bukan hanya diperlukan untuk masa sekarang tapi juga di masa yang akan datang. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak menerima pendidikan dari orangtuanya dan apabila nantinya anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka juga akan mendidik anak-anaknya. Melihat begitu pentingnya pendidikan bagi manusia, maka patutlah kiranya dibuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang diharapkan mampu menganyomi segala yang berkaitan dengan kebutuhan manusia dibidang pendidikan.
Berbicara tentang peraturan dan undang-undang, tiap-tiap negara di dunia memiliki  peraturan perundang-undangan sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di setiap negara didasarkan perundang-undangan tersebut. Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan bertingkat, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan pemerintah, Ketetapan sampai dengan Surat Keputusan. Di Indonesia terdapat sejumlah peraturan dan perundang-undangan mengenai pendidikan, seperti yang terdapat dalam UUD 1945, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan PP No. 19 Tahun 2005, serta UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Semua undang-undang dan peraturan pemerintah yang disebut tadi memberi kontribusi yang besar dalam pelaksanaan pendidikan Indonesia. Namun sangat disayangkan, banyak dijumpai ketimpangan-ketimpangan antara konsep pendidikan yang terdapat dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan.
Dalam tulisan ini tidak dicantumkan semua undang-undang dan peraturan-peraturan yang dimaksud melainkan hanya berupa kritikan karena adanya perbedaan konsep dan pelaksanaan atas kebijakan tersebut. Tulisan ini akan mengulas tentang ketimpangan-ketimpangan antara konsep kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan dengan kenyataan terlihat di lapangan.
    II.            Pembahasan
Di Indonesia terdapat beberapa kebijakan terkait dengan pendidikan yang bersumber utama pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Pidarta: 2007). Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 dikatakan salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kemudian pada kandungan UUD 1945 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (1) dengan bunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan,” pasal (3) berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang,” dan ayat (4) menyatakan bahwa, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia terdapat segudang permasalahan terkait dunia pendidikan. Masih sangat banyak yang harus dibenahi dalam fakta pendidikan di Indonesia, diantaranya terjadinya keragaman mutu pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas, kualitas, maupun kesejahteraannya, sarana prasarana belajar yang belum memenuhi kebutuhan, jika tersedia pun belum didayagunakan secara optimal, pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, proses pembelajaran yang belum efektif dan efisien serta penyebaran sekolah yang belum merata, dapat dilihat dari masih terdapatnya kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, kota dan desa, laki-laki dan perempuan, antar wilayah.
Kiranya pejabat pemerintah Indonesia belajar dari segudang permasalahan yang dihadapi menyangkut dunia pendidikan negara ini dan akhirnya membuat segenap undang-undang dan peraturan pemerintah yang diilhami dari kandungan UUD 1945, yakni Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), PP No. 19 Tahun 2005, serta UU RI No. 14 Tahun 2005, Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2008 tentang Guru, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22/2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan berbagai kebijakan pendidikan lainnya.
a.      Perbedaan konsep dan pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam UUD 1945 tentang pendidikan
Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dikatakan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Akan tetapi dalam implementasi tujuan dan cita-cita kemerdekaan tersebut, masih sangat jauh dari yang kita harapkan bersama. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana salah satunya melalui pendidikan formal, kini menjadi kian berat bagi masyarakat. Tidak hanya biaya pendididikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat miskin, namun juga budaya (culture) dalam lingkungan pendidikan, sungguh sangat memperihatinkan.
 Beragam bentuk ketidakadilan serta tontonan praktek kekerasan dan otoritarianisme dari para pemangku kepentingan (stakeholder) dunia pendidikan, kini kian mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adala ujian nasional yang jelas bertentangan dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945. Ujian Nasional hanya memfokuskan ke aspek kecerdasan intelektual, kurang memperhatikan kecerdasan emosional dan spiritual. Begitu pula dengan pendidikan yang kurang dapat menjangkau setiap warga terutama yang berada di desa.
b.      Perbedaan konsep dan pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan
Sisdiknas telah merumuskan bahwa utamanya pendidikan adalah melahirkan sumber daya manusia yang berkarakter dan kompeten dalam suatu bidang kehidupan. Namun ironinya, sekolah atau institusi pendidikan justru berlomba-lomba membesarkan aspek intelektual semata dan ketrampilan tetapi tidak pada aspek pembentukan karakter yang baik dan kokoh. Proses pembelajaran juga, tidak mengacu pada bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan karakter peserta didik. Selain itu, masih ada permasalahan mengenai biaya pendidikan. Pada ayat (2) pasal 34 yang berbunyi, ''Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya'', juga menimbulkan kerancuan, terutama terhadap tiga kata 'tanpa memungut biaya'. Kerancuan dan ketidak konsistenan terlihat apabila dikaitkan dengan Bab XIII tentang 'Pendanaan Pendidikan'. Pasal 46 ayat (1) selengkapnya berbunyi, 'Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat'. Yang namanya masyarakat tentu saja bisa orangtua siswa yang membiayai pendidikan putra-putrinya.  Di satu pihak pendidikan dikatakan gratis (tanpa dipungut biaya), namun di pihak lain masyarakat justru disuruh ikut menanggung biaya pendidikan yang dijalani oleh putra-putrinya. Hal demikian membuat masyarakat (orangtua siswa) bingung di dalam menyikapi kebijakan pemerintah tersebut.
Pada pasal 37 yang mengatur tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah, ayat (1) huruf h, yakni 'pendidikan jasmani dan olahraga'. Antara kata 'jasmani' dan 'olahraga' sepertinya mengandung arti yang sama. Dari dulu jika ada orang (peserta didik) yang mengatakan pelajaran penjas (pendidikan jasmani) biasanya sama dengan pelajaran olahraga. Kini, justru lebih dikenal oleh masyarakat adalah pelajaran penjaskes yang merupakan kependekan dari pendidikan jasmani dan kesehatan. Padahal tinggal memilih satu dari yang dua itu, karena keduanya mengandung arti yang sama. Pendidikan jasmani sama saja dengan pendidikan olahraga, sebaliknya pendidikan olahraga tidak berbeda dengan pendidikan jasmani.
Selanjutnya pasal 34 yang mengatur tentang 'wajib belajar' ayat (1) yang berbunyi, ''Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Kata 'dapat' sering menimbulkan penafsiran yang beragam. Namanya saja 'dapat', tentu berarti tidak wajib dan tidak harus. Ayat (1) pasal 34 ini boleh saja dianggap pasal abu-abu alias kurang tegas. Namanya wajib tentu saja berarti harus (bukan dapat). Dalam Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa kata 'wajib' mengandung arti; tidak boleh tidak, harus, mesti, sudah selayaknya, dan sedapat mungkin yang tidak melaksanakan ketentuan ini (pasal 34 ayat 1) perlu diberikan sanksi. Sedangkan pada pasal tersebut sanksi hukum belum kelihatan sama sekali.
Sementara itu pada pasal 12 ayat (1) huruf a yang berbunyi, ''Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:  mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama....'' masih dipandang perlu ada semacam ketegasan secara redaksional. Pendidikan agama sebaiknya bukan 'diajarkan' tetapi diganti dengan istilah lain yang lebih tepat. Kata 'diajarkan' selama ini berkonotasi hanya memindahkan pengetahuan yang dilakukan oleh guru kepada peserta didik atau siswa. Tampaknya masih ada kata yang lebih tepat seperti pendidikan agama 'diinternalisasi....''. Kata 'diinternalisasi' mengandung makna tidak hanya memindahkan/mentransfer pengetahuan agama tapi lebih bersifat 'menanamkan' ke dalam hati, nurani, dan kalbu peserta didik.
Pada tahun 2003 telah dikeluarkan peraturan pemerintah pada UU No 20 tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3 yang bunyinya ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional’. Namun pada saat itu juga muncul permasalahan input dan output di sekolah itu. Masalah input yaitu adanya ketimpangan yang menyebabkan diskriminasi pendidikan dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Karena tak dapat dipungkiri kebanyakan yang sekolah di sekolah Internasional adalah orang-orang kaya sedangkan orang yang kurang beruntung eknominya jarang yang menyekolahkan anaknya di sekolah berstandar Internasional dikarenakan sekolah berstandar Internasional tersebut relative lebih mahal dibading sekolah nasional. Masalah output bahwa masih adanya lulusan sekolah berstandar Internasional yang masih kesulitan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Indonesia hal ini bisa dikarenakan adanya seorang siswa tidak mengkuti ujian nasional sebagai syarat untuk masuk perguruan tinggi. Banyaknya polemik terkait dengan sekolah berstandar internasional mengenai masalah ujian nasional menjadi masalah utama yang harus dipecahkan yang selama ini belum jelas pengaturannya untuk sekolah bertaraf internasional.
Bukan hanya masalah sistem atau prosedur sekolah yang berlaku untuk sebuah sekolah internasional namun lebih pada substansi karakter kebangsaan seagai warga negara indonesia yang dikhawatirkan akan memudar. Jiwa nasionalisme peserta didik akan lama-lama tergerus jika di sekolah internasional tidak mengajarkan PKn dan Basahas Indonesia, Agama yang memang dijadikan mata pelajaran di sekolah internasional, kalau seandainya ada yang meninggalkan mata pelajaran-pelajaran di atas sudah barang tentu subyek didik tidak akan mengerti apa-apa tentang bangsa ini. Lebih-lebih adalah subyek didik anak SD yang membutuhkan suatu landasan dasar bagi perkembangan mereka terkait dengan cinta tanah air.Bahkan ada salah satu sekolah yang tidak mau melaksanakan upacara bendera, hal ini menunjukkan bahwa sekolah internasional sudah sangat mengkhawatirkan jika dilanjutkan berdiri di atas bumi Indonesia.
c.       Perbedaan konsep dan pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam PP  No. 19 Tahun 2005 tentang pendidikan
Memang PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah menjawab permasalahan yang ada sebelumnya. Diantaranya dengan dibentuknya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang bertugas membantu menteri dalam mengembangkan, memantau dan mengendalikan Standar Nasional Pendidikan yang salahsatu tugasnya adalah menyelenggarakan ujian nasional dengan mempertimbangan keragaman mutu pendidikan secara nasional dan/atau tolak ukur yang bersifat regional maupun internasional. Namun PP ini mesti harus dikritisi karena masih terdapat sejumlah permasalahan didalamnya. misalnya mengenai tujuan ujian nasional yang dalam pasal 66, UN dipakai untuk menilai pencapaian kompetensi kelulusan. Sedangkan pada pasal 68 disebutkan bahwa salah satu capaian UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan yang tentunya sangat berbeda dalam pengaplikasiannya di lapangan.
Masalah lain yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dr Said Hamid hasan yaitu hilangnya beberapa peran ilmu sosial diantaranya ilmu sejarah. Hal ini dikhawatirkan oleh para ahli akan menghilangkan pemahaman terhadap karakter bangsa yang hanya dapat dilakukan apabila mengetahui dan memahami pertumnuhan dan perkembangan bangsa dari masa lalu hingga sekarang. Bila hal ini terus terjadi, dikhawtirkan oleh para ahli akan menghilangkan pemahaman terhadap karakter bangsa yang hanya dapat dilakukan apabila mengetahui dan memahami pertumbuhan dan perkembangan bangsa dari masa lalu hingga masa sekarang. Bila ini terus terjadi, dikhawatirkan pada masa-masa mendatang , generasi muda Indonesia akan kehilangan pemahaman konsep kewarganegaraan dan konsep kepribadian bangsa yang berlatar belakang pada sejarah perjuangan bangsa.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang sisdiknas dengan jelas menyatakan penentuan kelulusan siswa adalah guru sehingga dalam UU tersebut tidak lagi diperlukan ujian akhir nasional. Namun dalam Peratauran Pemerintah No. 19 Tahun2005 Tentang Standart Nasional Pendidikan yang merupakan aplikasi(penggunaan) dari UU Sisdiknas, pemerintah menafsirkan lain. Menurutnya yang menentukan kelulusan siswa adalan ujian nasional. Padahal di Indonesia status hukum yang benar adalah bahwa hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan status hukum yang lebih tinggi, Akan tetapi hal ini justru terjadi di Indonesia. Ujian Nasional hanyalah ujung dari begitu banyak proyek yang diadakan sepanjang tahun ajaran. Proyek ini dikemas dalam bentuk uang gedung, sumbangan sukarela, sumbangan wajib, dan berbagai jenis lainnya. Akhirnya siswa menjadi korban dari keserakahan para pengambil kebijakan. Mereka disandera dominasi guru, buku, seragam, atandarisasi, dan tempat belajar yang hanya sebatas ruang kelas. Paradigma siswa sebagai objek harus di buang jauh-jauh. Anak didik sudah saatnya menjadi subyek sehingga ia bebas memilih pelajaran sesuai dengan minat.siswa tidak lagi di penjara di dalam kelas, tapi ia belajar di jagat raya. Dan gurupun tampil sebagai sosok sahabat bagi murid. Ujian nasional pun tidak lagi sekedar memilih siswa yang pandai dari yang bodoh. Biarkan saja universitas yang menerima siswa dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan negara ini terlalu banyak mengatur sehingga memacetkan suluruh kreatifitas. Ujian Nasional yang di pakai sebagai tolak ukur kelulusan siswa merupakan pogram yang tidak menghargai keunikan pribadi. Dalam Ujian Nasional yang diperlukan adalah hasil akhir bukan proses. Akibatnya individu kehilangan nilainya sebagai pribadi unik dan tak tergantikan.
 III.            Penutup
Beranjak dari peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini menyangkut kebijakan pemerintah terhadap pendidikan yang beberapa diantaranya terlihat rancu karena tidak sesuai dengan kenyataan dalam pelaksanaannya, diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan kondisi di lapangan dan menghalangi pelaksanaan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Karena dalam hal ini bukan sistem atau peraturan perundang-undangannya yang salah, melainkan orang yang melaksanakannya.
Untuk mewujudkan pendidikan yang dapat dirasakan oleh semua kalangan, maka alangkah baik apabila mengadopsi strategi dan teknik dalam kurikulum dan pembelajaran dari sekolah Internasional untuk diterapkan di sekolah berstandar nasional yang menggunakan kurikulum nasional sehingga dapat memperkaya pendidikan di Indonesia. Dengan begitu hal ini tidak menyimpang dari konstitusi yang ada yang mana sesuai dengan pasal 31 UUD 1945 Pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan bagi warga negaranya tak mengecualikan warga yang tak mampu sekalipun karena setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan (pasal 30 ayat (1)).
 IV.            Referensi:
Tim Pengajar. 2011. Diktat Filsafat Pendidikan. Medan: Universitas Negeri Medan
Pidarta, Made. 2007. LANDASAN KEPENDIDIKAN Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar