Kamis, 24 November 2011

PENDIDIKAN DAN ALAM


Nurul Kumala Sari Saragih
NIM: 309 122 049
Filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan karena Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat, akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat darifilsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian yang akan mengantar seseorang pada kearifan.
Filsafat pendidikan merupakan lanjutan dari filsafat manusia (Antropologi filosofis), yang menjadi pembeda adalah mencari jawaban hakekatnya.  Dimana filsafat manusia mencari jawaban pernyataan “apakah hakekat manusia?” sedangkan filsafat pendidikan mencari jawaban atas pertanyaan “apakah hakekat pendidikan itu?”. sehingga memiliki arti bahwa hakekat manusia memerlukan pendidikan, sehingga pendidikan itu dilaksanakan untuk mengaktualisasikan potensi manusia kearah perkembangan yang positif baik dari segi jasmani maupun rohani (kognitif, afektif dan psikomotorik) ataupun dari segi lain seperti individualis, sosialis, moralis dan religius.  Sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh aspek kemanusiaan membutuhkan pendidikan untuk mengembangkannya.
Filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat ataupun filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan (Imam barnadib 1994: 7).  Dari defenisi tersebut dapat dijelaskan bahwa masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat pendidikan yang memerlukan jawaban filosofis.  Selanjutnya ide-ide filosofis yang digunakan untuk  memecahkan masalah-masalah pendidikan dapat dilakukan dengan pendidikan filsafat pendidikan juga.
Filsafat pendidikan mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri.  Terdapat tiga masalah utama filsafat:
1.      Metafisika (Teori Hakekat)
Merupakan Istilah lebih generik adalah ontology yang berkenaan dengan hakikat realitas (what is), sedangkan metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it means danldquo;to bedanrdquo;). Pada konteks ini keduanya dipakai saling menggantikan (interchangeably). Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana namun serba mencakup. Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau substansi realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme. Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas.

2.      Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Epistemologi (Epistemology) Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis: Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know). Selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya).

Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian. Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini. Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain).  Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah danldquo;doubting Thomasdanrdquo; yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Modal kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif. Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana? Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi jika bukan nala  dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala. Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu, namun dapat selalu bersandar pada nalar dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan bisa menemukannya. Kaum Thomis menjawab agar bisa meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis. Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya. Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran.

3.      Aksiologi (Teori Nilai)
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam ialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam seharusnya dan sepatutnya (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai. Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis. Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya. Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorangmenemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya. Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrathasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau madanrsquo;sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia. Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Mansusia dan alam
Manusia memilliki kemampuan adaptasi yan tinggi, sehingga dapat melakukan berbagai upaya penyesuaian guna mengatasi masalah yang terjadi dengan cara sadar maupun tidak.  Permasalahan lingkungan hidup bukanlah suatu hal yang baru, permaslahan lingkungan hidup tumbuh seiring dengan perkembangan manusia, sikap manusia yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan merupakan faktor penyebab permasalahan tersebut.
Banyak upaya yang dilakukan manusia untuk mengatasi masalah lingkungan, salah satunya adalah dengan kembali memperhatikan lingkungan.   Maslaah lingkungan hidup (krisis ekologi) tidak dapat diatasi dengan reposisi hubungan manusia dan alam saja, namun harus melalui reorientasi nilai, etika, dan norma-norma kehidupan yang kemudian menjadi satu menjadi sebuah tindakan kolektif,  serta restrukturisasi hubungan sosial antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, dan aantara kelompok dengan organisasi yang lebih besar (Adibowo,2007).   Kegiatan penyadaran masyarakat penting dilakukan terkait dengan krisis ekologi tersebut,  dengan melakukan pendidikan berbasisi lingkungan hidup yang ditanamkan sejak dini kepada anak-anak untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup.
Pendidikan yang berbasis lingkungan hidup tersebut cerminannya adalah sekolah alam, sekolah tersebut menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi krisis ekologi yang terjadi saatt ini.   Sekolah alam yang menerapkan prinsip pendidikan lingkungan secara holistik diharapkan mampu menyiapkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya tangguh namun juga peduli terhadap lingkngan,  dan pada dasarnya dengan menjaga  lingkungan saat ini akan berguna bagi anak cucu berikutnya.
Pendidikan dan Alam
Pendidikan merupakan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan meningkatkan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang.
Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga ”belajar”, tetapi lebih ditentukan oleh insting, sedangkan bagi manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Oleh karena itu berbagai pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan proses budaya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dan berlangsung sepanjang hayat. Apabila demikian, maka pendidikan memegang peranan  eksistensi dan perkembangan manusia, karena pendidikan merupakan usaha melestarikan dan mengalihkan serta menstransformasikan nilai nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus, untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.
Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, Negara, maupun pemerintah, maka pendidikan harus selalu di tumbuh kembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijasanaan yang berwenang di republik ini. Berdasarkan hal itu, maka upaya pendidikan disuatu bangsa selalu memiliki hubungan yang siknifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa datang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti perubahan tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan zaman.
Konsep belajar bersama alam ini digagas oleh Lendo Novo yang terinspirasi dari perjalanan hidup Rasulullah Muhammad s.a.w. Konsep dasar sekolahalam adalah:
ü Pemahaman alam & bisnis sebagai media belajar harus mengacu pada firman-firman Allah SWT yang menyuruh kita memahami proses penciptaan alam semesta dan cara mencari rizki secara halal.
ü Dengan pemahaman yang tinggi terhadap proses penciptaan alam semesta (science & technology) dan cara mencari rizki secara halal, maka manusia diyakini mampu menjadikhalifahtullah fil ardh.
ü Hanya media alam semesta yang mampu mengajarkan ilmu pengetahuan secara integral (holistic) & aplikatif (amaliyah) hingga mencapai posisi rahmatan lil alamin.
Pendidikan alam terbuka dengan metode belajar dan pengalaman sudah dikenal dejak zaman dulu, seorang filsuf yunani yakni Aristoteles pernah mengatakan pentingnya belajar dari pengalaman “apa yang kita pelajari, kita pelajari sambil melakukan”.  Pendidikan di luar ruangan ini menghubungkan antara pengetahuan dengan dunia nyata, berbeda dengan pendidikan sekolah yang cenderung bersifat teoritis.  Pendidikan di luar ruangan ini memanfaatkan lingkungan sekitar dengan membawa anak-anak didik untuk mengamati lingkungan sehingga akan menambah keseimbangan belajar.  Artinya, dalam belajar tidak hanya terjadi di ruangan kelas saja namun juga di luar ruangan kelas yakni lingkungan sebagai sumber belajar yang sangat mempenagruhi perkembangan fisik, keterampilan sosial, dan budaya, perkembangan emosional juga intelektual.
Dengan melakukan kegiatan belajar di luar ruangan kelas ini lebih menarik anak didik karena lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banya pilihan.   Lingkungan sangat berperan dalam merangsang pertumbuhan fisik anak, untuk mengembangkan otot-ototnya.  Anak-anak memiliki kesempatan yang alami untuk berlari-lari, melompat, berkejaran dan merenggangkan tubuhnya dengan cara yang tidak terbatas.   Kegiatan tersebut terjadi dengan alami dan sangat bermanfaat dalam mengembangkan aspek fisik si anak.
Metode pendidikan dalam sekolah alam mengharuskan anak terlibat langsung dalam kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan, sehingga anak menyadari arti lingkungan alam bagi kehidupan dan pentingnya menjaga serta menghargai alam.
Pendidikan sekolah ini mengadopsi aliran-aliran pendidikan secara keseluruhan, dimana aliran-aliran pendidikan telah dimulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalam kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai kini.  Aliran-aliran pendidikan adalah aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembanganpengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Aliran-aliran Klasik dalam Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran sekolah alam sebagai pendidikan di Indonesia.
a.   Aliran Empirisme
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembanganmanusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diproleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulanstimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk pendidikan. Manusia dapat dididik menjadi apa saja (kearah yang baik atau kearah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidik-pendidiknya. Dengan demikian pendidikan diyakini sebagai sebagai maha kuasa bagi pembentukan anak didik. Karena pendapatnya yang demikian, maka dalam ilmu pendidikan disebut juga Aliran Optimisme Paedagogis.  Tokoh perintisnya adalah John Locke.
b.   Aliran  Nativisme
Aliran Nativisme bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil prkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap dan pendidikan anak. Nativisme berkeyakinan bahwa pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaaan. Dengandemikian menurut mereka pendidikan tidak membawa manfaat bagi manusia. Karena keyakinannya yang demikian itulah maka mereka di dalam ilmu pendidikan disebut juga aliran Pesimisme Paedagogis. Tokoh aliran ini adalah Schopenhaeur seorang filosof bangsa jerman.
c.   Aliran Naturalisme
Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau. Rosseau berpendapat bahwa semua anak baru dilahirkan mempunyai pembawaan BAIK. Pembawaan baik akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak pembawaan baik anak itu.
d.   Aliran Konvergensi
Aliran Konvergensi dipelopori oleh Wlliam Stern, ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu. Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) mempunyai pengaruh yang sama besar bagi perkembangan anak. Pendapat ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh William Stern.
Pendapat ini semua bermaksud menghilangkan pendapat berat sebelah dari aliran nativisme dan empirisme dengan mengkombinasikannya. Pada mulanya pendapat ini diterima oleh banyak orang karena mampu menerangkan kejadiankejadian dalam kehidupan masyarakat. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya banyak orang yang berkeberatan dengan pendapat tersebut dan mengatakan kalau perkembangan manusia itu hanya ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan, maka hal ini tak ubahnya kehidupan hewan. Sebab hewan itu pertumbuhannya hasil dari pembawaan dan lingkungan. Hewan hanya terserah kepada pembawaan keturunannya dan pengaruhpengaruh lingkungannya. Perkembangan pada hewan seluruhnya ditentukan oleh kodrat, oleh hukum alam.
Sedangkan manusia berbeda dengan hewan disamping dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, manusia aktif dan kreatif dalam mewujudkan perkembangan itu. Drs. M Ngalim Purwanto mengatakan dalam hal ini sebagai berikut: “Manusia bukan hasil belaka dari pembawaan dan lingkungannya; manusia hanya diperkembangkan tetapi memperkembangkan dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang dapat dan sanggup memilih dan menentukan sesuatu yang mengenai dirinya secara bebas. Karena itulah ia bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya: ia dapat juga mengambil keputusan yang berlainan daripada yang pernah diambilnya. Proses perkembangan manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor pembawaan yang telah ada pada orang itu dan faktor lingkungan yang mempengaruhi orang itu. Aktivitas manusia itu sendiri dalam perkembangan sendiri turut menentukan atau memainkan peran juga. Hasil perkembangan seseorang tidak mungkin dapat dibaca dari pembawaannya dan lingkungannya saja.
Pengajaran Alam Sekitar, gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya  adalah gerakan pengajaran alam sekitar,perintis gerakan ini adalah Fr. A. Finger di Jerman dengan heimatkunde, dan J. Ligthart di Belanda dengan Het Voll Leven.
Dengan demikian hubungan pendidikan dengan alam sangat erat dan salingmempengaruhi, dimana pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak manusia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.  Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,  yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Kementrian Lingkungn Hidup, 2007).
Menurut kementrian lingkungan hidup, pendidikan lingkungan hidup bertujuan untuk mendorong dan memberikan kesempatan kepada masyrakat memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulan, komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup secara bujaksana, turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan lingkungan hidup, mengembangkan etika lingkungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar