Selasa, 15 November 2011

Otonomi Daerah Dan Reformasi Pendidikan


Oleh :
Lamhot Turnip* (309 122 031)
Otonomi daerah defenisinya adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan perbuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Menurut undang-undang no 32 tahun 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa arti penting dengan otonomi daerah seperti terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan  pemerintahan, sebagai sarana pendidikan politik, pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Stabilitas politik, kesetaran politik, akuntabilitas public. Visi dari otonomi daerah sendiri adalah secara social  yakni menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan disekitarnya, ada juga visi politik dan juga visi ekonomi namun tidak dibahas dalam hal ini.
Otonomi daerah pada prinsipnya memberikan kesempatan yang luas sesuai perundang-undangan kepada daerah untuk mengembangkan daerahnya terutama kabupaten atau kota. Regulasi ini menjanjikan pendelegasian wewenang yang lebih besar bagi daerah. Tujuan idealnya adalah memberdayakan dan meningkatkan kemampuan daerah. Memang diakui ada keuntungan yang diproleh daerah setelah otonomi daerah, namun beberapa hal juga menjadi dilemma. katakanlah sebagai contoh dalam aplikasinya, otonomi daerah memperkuat dan memperjuangkan nasib di daerah secara terfokus dan terintegrasi. Penguatan budaya local sebagai ciri khas daerah tersebut sekaligus menunjukkan identitas daerah tersebut.
Dilain sisi,  juga terdapat hal-hal yang negatif dengan dilaksankannya otonomi daerah ini. Katakanlah sering terjadinya  pertikaian antar pemerintah daerah atau pemerintah kota dengan badan legislative sebagai pembuat undang-undang atau peraturan daerah serta tidak mengikutsertakan warga masyarakat dalam pembuatannya. Sehingga yang lagi-lagi menjadi korban adalah rakyat di daerah tersebut yang tertekan oleh peraturan daerah, dan masih banyak contoh yang lainnya.
Ancaman disintegrasi daerah juga makin vulgar setelah otonomi daerah terlaksana. Dimana suatu daerah ingin menjadi daerah-daerah yang baru misalnya dari kecamatan ke kabupaten atau kota, dari kota atau kabupaten ke propinsi, bahkan ada dari propinsi ke Negara. Dalam proses ini tentu sering menjadi konflik untuk memperjuangkan daerah itu lepas dari daerah induk sebagaimana telah terjadi dengan perjuangan Protap dari propinsi Sumatra Utara.
Otonomi daerah yang katanya memberdayakan suatu daerah tentunya tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan kualitas warga masyarakat di daerah itu. Berawal dari pendidikanlah maka akan tercipta generasi muda yang tangguh nantinya. Bidang pendidikan yang selama ini kelihatannya masih rancu dalam pelaksanaanya yang sering didengung-dengungkan tetapi aplikasinya kurang. Sebagai contoh selalu kita dengar bahwasanya dahulu Indonesia pernah lebih tinggi wawasan pengetahuannya daripada masyarakat malaysia, sehingga guru-guru dipanggil dari Indonesia dan banyak juga yang sekolah ke Indonesia, tetapi sekarang tidak lagi. Ini kita sadari betul terjadi perubahan tetapi tidak ada usaha yang focus untuk mereformasi pendidikan mengapa bisa lebih baik lagi keadaan mereka?
Sepertinya memang betul apa yang dikatakan oleh para sejarawan bahwasanya mental Indonesia mental-mental terjajah yang tidak ada usaha untuk membuat inovasi baru. Belanda pada waktu penjajahan, berhasil untuk membodoh- bodohi warga bangsa ini. Sebagai contoh mengantisipasi rakyat supaya tetap bodoh dengan mengatakan supaya tidak makan telur ayam karena akan muncul bisulan, atau tidak makan ikan karena mahal lebih bagus di jual. Adahal dengan telur atau ikan maka akan mendapat protein yang diperlukan oleh tubuh manusia dan membantu melancarkan kecerdasan otak. Hal- hal seperti pernyataan tersebut membuat Indonesia ketertinggalan dibanding Negara yang lainnnya yang belakangan merdeka setelah Indonesia. Sehingga sampai hari ini juga, masih banyak warga yang memiliki makanan katakanlah buah-buahan yang bagus dijual, dan yang kurg bagus dimakan oleh petaninya. Sampai kapankah keadaan seperti ini tetap mendarah daging bagi bangsa ini? Pentingnya untuk membahas apa yang menjadi langkah-langkah kita nantinya ke depan supaya keluar dari kebisaaan seperti itu.
Pada kesempatan ini, yang akan dibahas adalah bagaimana memahami otonomi daerah sebagai pelaksana pemerintahan dalam kaitannya dengan  reformasi di bidang pendidikan. Menurut KBBI, reformasi adalah suatu perubahan terhadap suatu system yang telah ada pada suatu masa.   Reformasi yang bisa dikatakan sebagai usaha untuk membentuk atau membuat keadaan yang lebih baik lagi dari keadaan sebelumnya. Tuntutan semacam ini dapat menjadi kebijakan yang nantinya tentu perlu mendapat respon kritis dari berbagai kalangan mengingat pentingnya meningkatkan aspek intelektual, spiritual, dan emosional. Perlu juga untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai usaha untuk mencapai tujuan pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ada beberapa pokok penting yang saya perhatikan perlu untuk menjadi perhatian kita bersama dalam pendidikan akhir-akhir ini yang dikaitkan juga dengan otonomi daerah sehingga nantinya perlu untuk menjadi kajian para pembuat peraturan dan system pendidikan yang perlu diubah  atau dirombak agar lebih baik lagi, diantaranya :
Pertama, sistem ujian secara nasional. Kelulusan pada Ujian nasional adalah menjadi target daripada seorang siswa. Padahal tidak diatur dalam sebuah kompetensi mata pelajaran apapun tentang harus lulus dari ujian nasional tetapi lebih kepada bagaimana tiga aspek dari taksonomi bloom  (aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik ) dapat tercapai dengan  baik. Ini menjadi dilema yang sangat penting dikaji ulang. Sudah menjadi rahasia umum bilamana ujian nasional berlangsung guru dan kepala sekolah  membantu siswa untuk mengerjakan soal ujian itu dengan berbagai metode sehingga tidak ada yang tenang tidurnya karena bagi mereka ujian ini menjadi evaluasi yang sangat-sangat  mengkawatirkan. Sangat menakutkan sekali manakala ujian nasional sudah diambang pintu. Tidak hanya bagi siswa itu sendiri tetapi dari pihak guru bahkan kepala sekolah juga kwatir dengan pelaksanaan ujian nasional ini.  Mulai semester pertama semenjak kelas 3 sekolah menengah melaksanakan pelajaran tambahan di sekolah atau katakanlah les tambahan pada sore hari. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak jam belajar di sekolah mempersiapkan diri ketika mengikuti ujian nasional nantinya. Tidak hanya itu saja, siswa juga sibuk dengan kegiatan katakanlah bimbingan atau privat les.
Dengan adanya kegiatan seperti itu yang menambah beban daripada siswa itu sendiri dan guru di sekolah. Bilamana hasil ujian tidak sesuai dengan yang diharapkan maka bisa saja kepala sekolah menjadi target dinas pendidikan untuk memutasinya atau memecatnya, dan kaitanya dengan otonomi daerah adalah bahwasanya daerah berperan penting dalam memberdayakan daerah itu. Pemerintah daerah memerintahkan dinas pendidikan agar bersikeras meningkatkan kelulusan, dinas pendidikan memerintahkan lagi ke kepala-kepala sekolah. Praktik seperti ini sering menimbulkan masalah baru. Konflik kepentingan atau kekuasaan sering terjadi.
Sebagai contoh kalau banyak sekolah gagal dalam ujian nasional yang kawatir adalah kepala sekolah. Sehingga kepala sekolah melakukan berbagai cara seperti memberi jawaban pada siswa. Apakah hal seperti ini yang diharapkan oleh pendidkan secara nasional sehingga terus melaksanakan ujian nasional?? Tentu tidak seperti itu. Kecurangan yang terjadi dalam pelaksanan ujian ini sudah menjadi rahasia umum dan berulang kali terjadi. Standar yang diberlakukan secara nasional satu-satunya target dari siswa selama 3 tahun belajar di sekolah menengah. Di lain sisi, pernah muncul isu, mengapa tidak mata pelajaran yang di ujian nasional saja yang dipejari, toh itu penentu kelulusan? Hal ini karena memang tiga hari melaksanakan ujian nasional dengan 5 atau 6 mata pelajaran menentukan dia berhasil atau tidak belajar sebagai siswa selama 3 tahun.
Yang perlu direformasi adalah kebijakan itu sendiri belum waktunya diterapkan di Negara yang luas ini. Bukan tidak baik kebijakan ini, tetapi belum saatnya diberlakukan. Masih perlu persiapan yang lebih matang lagi baru dilaksanakan. Yang perlu dibenahi adalah sarana dan prasarana terlebih dahulu. Manakala sarana dan prasana sudah dilengkapi dan merata secara nasional maka pantas dilakukan ujian secara nasional. Alasanya pantas karena memang secara nasional sarana dan prasana sudah rata di setiap sekolah di Indonesia. Tetapi sampai sekarang ini yang saya perhatikan masih banyak sekolah yang berlantai tanah, beratap ijuk. Yang paling menyedihkan adalah sekolah yang sudah lapuk, sekolah yang kekurangan fasilitas serta tenaga pendidik padahal banyak lulusan sarjana pendidikan yang menganggur bahkan katanya diberlakukan moratorium PNS. Paling tidak dengan moratorium maka akan membatasi usulan daerah jika membutuhkan tenaga pendidik secara khusus.
Ujian nasional sebagai penentu kelulusan tentu membuat siswa tidak  termotivasi untuk belajar lebih keras lagi. Karena biar bagaimanapun, pada akhirnya nanti akan diiajari juga oleh guru atau pengawas karena mereka juga kwatir siswanya tidak lulus. Pendapat seperti itu banyak terdengar dikalangan siswa yang sudah memasuki jenjang sekolah menengah. Kalau mulai dari kelas satu dia sudah ketahui hal seperti itu otomatis semangatnya untuk bekerja keras pun berkurang, padahal seharusnya semangatnya ditempa saat itu juga sebagai landasan memasuki kedewasaan diri. Oleh sebab itu juga sehingga berkuranglah kreativitas siswa untuk melakukan inovasi baru dalam pendidikan.
Kesenjangan yang terjadi juga antara siswa yang pintar atau rajin dan siswa yang tidak rajin selama ini di sekolah nampak ketika hasil ujian diumumkan. Artinya bahwa sama-sama mendapat nilai ujian yang sama tingginya antara anak yang selama ini rajin dengan  yang tidak karena sama-sama mendapat jawaban ujian dari guru atau orang lain.
Ujian nasional lebih baik jangan lagi diberlakukan sebelum sarana dan prasana sekolah dilengkapi, apa yang ada di pulau jawa mestinya sama dengan apa yang ada di daerah lain fasilitas sekolahnya. Hal ini demi mengurangi kesenjangan antara sekolah di perkotaan dan pedalaman atau daerah. Kem balikan hak penentu kelulusan kepada kemampuan daerah masing-masing, dan jangan diukur secara nasional. Sekolah seharusnya berhak menetukan siswanya lulus atau tidak karena dia lebih memahami perkembangan siswanya mana yang aktif dan tidak aktif.
Yang kedua adalah mengenai sekolah SBI dengan SNI. Pembagian sekolah yang bertaraf internasional atau nasional menurut saya menjadi dilema juga terhadap sebagian peserta didik bahkan sekolah-sekolah yang lain. Ini membuat kesenjangan terjadi. Karena tidak semua siswa bisa menjadi peserta didik di sekolah itu. Otomatis sekolah seperti itu yang mendapat perhatian lebih khusus dari pemerintah. Oleh sebab itu yang menajdi dampaknya adalah sekolah pedalaman tetap menjadi sekolah terbelakang, dan sekolah yang taraf nasional dan internasional selalu dibenahi lebih baik lagi. Kebijakan menjadikan sebuah sekolah untuk masuk pada taraf nasional dan internasional seperti itu perlu juga dikaji ulang menurut saya agar terjadinya pemerataan pendidikan dari segi tenaga pendidik maupun fasilitas.
Yang ketiga adalah pendidikan yang diarahkan pada pengembangan bakat khusus siswa. Pendidikan yang ada di sekolah menengah (SMP/SMA) menurut saya sepertinya mengambang dan tidak punya tujuan yang spesifik  ke arah mana nantinya siswa setelah lulus. Penguatan dan reformasi dalam hal ini penting untuk mendorong siswa lebih menguasai suatu hal dibanding memiliki pengetahuan luas tetapi tidak tahu arahnya kemana. Secara konkrit katakanlah siswa SMA jurusan ilmu pengatahuan alam ketika ingin kuliah tidak lulus pada jurusaan-jurusan di IPA maka dia pun mengambil pilihan jurusan-jurusan yang ada di bidang IPS. Ini kan menjadi permasalahan atau konflik bagi siswa itu sendiri padahal dia sudah belajar katakanlah kimia, fisika, matematika, biologi tetapi dia lulus perguruan tinggi negeri dengan jurusan ilmu sejarah atau antropologi. Apa gunannya pengetahuan dia selama di SMA sedang ketika di sejarah atau antropologi setelah kuliah tidak dipelajari lagi? Alangkah baiknya dia diarahkan ke sejarah secara khusus mulai dari SMA atau SMP.
Ada beberapa pendidikan yang diarahkan pada pengembangan bakat seperti pendidikan bakat kreatif yang menghasilkan produk-produk baru, misalnya rancangan arsitektur terbaru, menghasilkan teknologi terbaru dan sejenisnya. Ada juga pendidikan yang diarahkan pada bidang seni seperti mampu mengaransemen music dan itu menjadi sangat dikagumi, mampu menciptakan lagu, mampu melukis indah dalam waktu singkat, dan yang lainnya.
Selain itu ada juga pendidikan yang diarahkan pada pengembangan bakat seperti keterampilan sepak bola, bulu tangkis, tenis dan yang lainnya. Pendidikan pengembangan bakat secara sosial seperti terampil mencari informasi, jaringan atau koneksi, mahir dalam kepemimpinan berorganisasi.
Perwujudan nyata dari bakat ini adalah prestasi. Prestasi yang menonjol merupakan cerminan dari bakat yang diimilikinya dalam bidang tersebut.  Oleh sebab itu perlu juga ditekankan bahwa karena bakat masih bersifat potensial, seseorang yang berbakat belum tentu mampu mencapai prestasinya yang tinggi dibidangnya jika tidak didukung atau mendapat kesempatan untuk mengembangkannnya secara maksimal. Bakat yang tinggi akan terealisasikan dalam bentuk prestasi unggul yang tentunya tidak terlepas dari dukungan fasilitas lengkap dan motivasi dari berbagai kalangan seperti orang tua dan guru maupun pihak luar.
Untuk itulah saya berharap dalam pendidikan di Indonesia ini lebih mengembangkan pendidikan yang arahnya jelas yakni dengan memberikan kesempatan pada siswa mengembangkan bakat dan intelektualnya melalui pembangunan sekolah-sekolah yang menonjolkan kespesifikan. Kurikulum disusun yang terdiri dari berbagai aspek atau azas. Salah satu diantaranya adalah lingkungan. Manakala di suatu daerah itu berdekatan dengan pantai atau lautan, maka alangkah baiknya jika pemerintah mendirikan sekolah yang kompetensinya memahmi  berbagai hal tentang laut atau pantai itu yang memang sehari-harinya berada disitu. Karena kebisaan mempengaruhi tingkah lakunya. Hal itu tentu akan bermanfaat terhadap berbagai aspek, diantaranya dia dapat memanfaaatkan potensi daerah itu, memahami perencanaan di daerah itu, sekaligus pengembangannya setelah belajar di sekolah itu secara spesifik.
Katakanlah di suatu daerah tertentu ada berkembang sebuah industry. Maka perlu juga didirikan sekolah yang khusus belajar tentang seluk beluk industry sesuai dengan industry apa yang ada di daerah itu. Out put dari sekolah itu tentu bisa bekerja di industry itu nantinya. Selain itu juga, mengurangi pengangguran di daerah itu.
Kaitan antara pendidikan pengembangan bakat khusus dengan otonomi daerah karena daerah lebih faham mengenai seluk beluk daerah itu dibanding pusat. Apa saja yang potensial di daerah itu tentu dapat dikembangkan untuk kemajuan dan peningkatan sumber daya manusianya yang akan lebih fokus jika tidak harus menunggu perintah dari pemerintah pusat. Otonomi daerah yang sudah berjalan  lebih berperan untuk memajukan daerah.
Yang keempat adalah reformasi pendidikan dalam bidang pengenalan budaya. Akibat dari berkembangnya globalisasi yang merambah ke pedalaman sehingga peserta didik merasa kuno kalau disuruh belajar budayanya. Katakanlah sebagai contoh menyanyikan lagu daerah yang ada di daerahnya menurut saya tidak banyak lagi yang paham, selain itu yang paling penting adalah nilai budaya yang ada di daerahnya atau etnisnya tidak dijalankannya lagi dengan baik akibat pengaruh luar yang lebih besar. Hal-hal seperti ini perlu digiatkan kembali agar budaya kita yang cocok dengan masa sekarang tetap lestari, karena masih banyak nilai budaya kita yang relevan dengan zaman sekarang. Pentingnya pembelajaran ilmu budaya yang dalam hal ini ilmu antropologi menurut saya kembalikan ke ranah pendidikan di sekolah menengah atas.
Paling tidak dengan dipelajarinya ilmu antropologi di sekolah yang mengajarkan nilai budaya tentunya akan membuat siswa memahami bagaimana dikatakan nilai budaya itu, multikulturalisme serta pluralisme dan ideology pancasila itu sendiri. Pembangunan karakkter lebih terkesan dengan mempelajari ilmu antropologi dibanding hanya jargon atau seminar atau sosialisasi semata. Karena banyak masalah yang saat ini berkembang tidak lain adalah masalah keragaman seperti agama, etnis dan yang lainnnya yang berkaitan dengan kebhinekaan bangsa. Untuk mengantisipasi akan terjadinya bentrok atau konflik etnis maupun agama maka penting untuk mempelajari terlbeih dahulu bagaimana dikatakan pluralisme dan bagaimana untuk bisa hidup berdampingan di dalam keberagaman tersebut.
Karena itu, ilmu terapan yang di satu pihak bersifat deskriptif dan di pihak lain sekaligus bersifat normative seperti antropologi pendidikan, menyediakan partisipasinya secara wajar dalam orchestra pembangunan dewasa ini. Ilmu antropologi lebih focus membahas kepada bagaimana manusia dan kebudayaannya. Oleh sebab itu, berbagai permasalahan yang terjadi dewasa ini sepertinya memerlukan kontribusi dari para pecinta antropologi.
Yang kelima   adalah reformasi pembelajaran dan buku yang berbasis pada daerah itu sendiri. Selama ini yang kita pelajari adalah semua yang berasal dari Pulau jawa. Maka ada pendapat yang mengatakan pelajaran yang jawasentrisme. Apa-apa saja yang tercantum dalam pembelajaran berasal dari pulau jawa. Sebagai contoh adalah pelajaran tentang kereta api. Di Nias tidak ada kereta api. Apakah mereka akan paham kalau diterangkan tentang kreta api, dimana siswa hanya dapat membayangkan bagaimana kereta api itu. Contoh lain adalah pembelajaran tentang kerajaan atau kesultanan. Yang dipelajari bersal dari sultan atau raja yang ada di pulau jawa sekitarnya. Padahal di Sumatra Utara sendiri terdapat berbagai kerajaan salah satunya adalah Kesultanan Melayu, Raja Batak dan yang lainnya. Mengapa tidak dipelajari tentang Sultan Melayu atau Raja Batak yang lebih focus daripada belajar kerajaan yang di jawa yang tidak tahu dimana lokasinya oleh sebaian besar siswa secara khusus siswa di Sumatra Utara.
Kesultanan  melayu barangkali siswa dapat belajar ke Istana Maimun atau kerajaan batak bisa dipelajari dan dilihat langsung ke samosir daripada dia membayangkan Kerajaan Majapahit atau Keraton yang sulit dijangkau dan dilihat secara langsung oleh siswa. Dalam kaitannya dengan otonomi adalah hak suatu daerah memperkenalkan daerahnya bukan daerah lain yang lebih diketahunya dibanding daerahnya sendiri. Sering terjadi bahwa lebih tahu dia di luar daerahnya dibanding apa yang ada di daerahnya sendiri. Hal itu karena tidak termasuk dalam pembelajaran mereka atau melalui buku-buku pelajaran mereka.
Yang keenam  adalah mengenai perfilman di Indonesia yang mengikutsertakan peran  dunia pendidikan. Sangat disayangkan sekali bila apa yang ditayangkan oleh siaran televisi memperlihatkan peserta didik yang sembrono dan tidak ada yang mencerminkan seorang prilaku peserta didik sesuai dengan nilai budaya Indonesia. Banyak tayangan film yang menunjukkan peserta didik tawuran, berkelahi di kelas, pakaian yang ketat, berkelahi atau mencaci maki guru, memakai perlengkapan seperti kalung atau yang lainnya yang menyatakan kekayaan atau kelebihan. Kejelekan seperti itu seharusnya tidak perlu ditayangkan dalam sebuah film yang mengikutsertakan siswa-siswa baik SD hingga SMA bahkan Mahasiswa. Jarang diperlihatkan sebagai seorang siswa yang baik dalam tayangan film, yang ada kejelekan melulu yang diatur oleh seorang sutradara film. Ini kan pembodohan terhadap siswa itu sendiri dan seluruh siswa di Indonesia yang meniru prilaku mereka sebagai pemain yang diidolakannya selalu. Apa jadinya jika siswa meniru hal-hal seperti itu? Saya berharap bahwa lebih baik berwawasan pada daerah itu yang mana siswa diperankan untuk menjadi siswa yang baik sesuai dengan nilai budaya di daerah itu dan apa adanya. Bukan penayangan film yang telah diatur agar berprilaku sesuai kehendak sutradaranya. Tentu dengan tayangan seperti itu mencerminkan situasi dan kondisi yang ada di sekolah. Padahal seharusnya siswa itu belajar dengan baik, bukan diatur untuk berkelahi, menipu, mencuri sebagaimana tayangan-tayangan yang ada di televise seperti sinetron.
Yang ketujuh adalah mengenai sertifikasi guru. Sertifikasi guru yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas guru untuk mengajar sepertinya tidak ada perbedaannya antara sebelum disertifikasi dengan yang sudah disertifikasi. Hal ini saya perhatikan banyak pendapat dari berbagai teman-teman mahasiswa ketika menjadi siswa menuturkan hal yang senada juga. Guru yang sudah disertifikasi malah menjadi semakin tidak memperhatikan siswa akibat penambahan gaji tersebut.
Banyak dari guru-guru yang kurang professional bekerja kadang kala kalau ada masalah dengan siswa selalu mengaitkannya dengan memberikan pernyataan bahwa mau bagaimana kamu disitu terserah kamu saja, gaji saya tidak berkurang. Uang orang tuamu yang habis kalau kamu tidak serius. Peryataan seperti itu banyak diucapkan oleh guru di sekolah. Apalagi setelah sertifikasi, semakin marak pendapat seperti itu. Seperti sekarang gaji saya sudah lebih besar, tidak mungkin saya dipecat hanya karena kamu tidak  mau untuk belajar. Hal itu yang sering diucapkan oleh guru. Untuk apa sertifikasi dibuat yang tujuannya untuk melatih guru supaya lebih baik lagi dalam mengajar tetapi realitanya biasa-biasa saja. Sertifikasi sepertinya formalitas saja.
Lebih baik biaya untuk sertifikasi guru itu dialihkan kepada pembiayaan sarana di sekolah dimana guru itu mengajar. Dengan demikian ada manfaat yang nyata untuk dinikmaati peserta didik. Guru sertifikasi selama sekitar dua minggu, siswa di sekolah ditelantarkan. Guru merasa bahwa setelah disertifikasi sudah pintar dalam semua ilmu bidang kajiannya.
Kalau memang pemerintah serius untuk melatih guru seperti tujuan diadakannya sertifikasi, lebih baik melihat guru berdasarkan kualitasnya di sekolah lalu gajinya dinaikkan. Tidak masuk akal kalau latihan maupun tidak latihan, pengetahuan guru sama saja.
Yang menjadi permasalahan juga adalah guru yang disertifikasi itu adalah guru yang sudah senior, bahkan ada yang hanya beberapa tahun lagi sudah pensiun. Untuk apa lagi dia dilatih? Ini kan menjadi fenomenal sifatnya. Mengapa pemerintah tidak memanfaatkan tenaga pengajar yang baru untuk dilatih dan agar lebih professional? Mengapa guru tua yang metode mengajarnya dari dahulu kala hingga sekarang seperti-seperti itu saja tidak diganti dengan guru baru yang lebih banyak mengenal berbagai metode mengajar dan menurut saya lebih kepada kekinian atau mengikuti perkembangan zaman.
Banyak pendidik-pendidik yang baru tamat tetapi menganggur. Hal ini kan menjadi pertanyaan yang wajib dijawab oleh pemerintah ditengah banyaknya daerah yang katanya kekurangan guru pengajar. Mengapa bisa kekurangan padahal lulusan perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga pendidik setiap tahunnya memproduksi pendidik handal. Hampir setiap propinsi memiliki perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga pendidik, saya kira perlu melakukan kerja sama dengan pemerintah untuk nantinya memberikan kesempatan kerja untuk mengajar atau menjadi pendidik di daerah itu dan yang paling penting adalah pengangguran dari tamatan perguruan tinggi otomatis berkurang.
Dengan demikian, pentingnya reformasi pendidikan seharusnya menciptakan tata sosial yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya masa kini, selaras dengan yang mendasari kekuatan –kekuatan ekonomi sosial masyarakat modern. Rekontruksi memandang kehidupan beradap adalah hidup berkelompok, sehingga selalu harus berkembang dalam kelompoknya dimana kelompok memegang peran yang sangat penting di sekolah. Melalui sekolah akan dikembangkan bukan hanya sifat sosialnya akan tetapi kemampuan untuk melibatkan diri dalam perencanaan sosial.
Penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi dan cara guru sebaiknya ditijau kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan tentang sifat dasar manusia dan daerah itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang memiliki failitas dan tenaga pendidik yang handal. Pemerataan sarana maupun prasara pendidikan akan menunjang keberhasilan suatu sekolah mencipatakan peserta didik yang berpikir kritis dan selalu memiliki karakter sesuai nilai budaya di daerahnya. Pengembangan bakat khusus untuk siswa agar siswa mampu mewujudkan kemampuan-kemampuan dalam dirinya yang potensial. Pendidikan bertujuan untuk membina peserta didik beripikir rasional sehingga menjadi manusia yang cerdas yang berkontribusi pada masyarakat. Pendidikan yang membimbing dan mengarahkan kebisaaan masyarakat yang ada sesuai dengan yang diharapkan.
*Penulis adalah mahasiswa program studi pendidikan antropologi Fis Unimed stambuk 2009
Referensi:
-tim pengajar mata kuliah PPD. 2011. Bahan ajar perkembangan peserta didik. Unimed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar