Kamis, 24 November 2011

PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL


Nama              : Rahyu Swisty Sipayung
Nim                 : 309 122 050
M.Kuliah        : Filsafat Pendidikan


Tata cara bernegara Indonesia diatur dalam UUD 1945 yang belum pernah mengalami amandemen kecuali setelah bergulir reformasi 1998, namun pembukaan UUD 1945 masih tetap, tidak diamandemen. Dengan tidak adanya perubahan terhadap pembukaan UUD 1945, menunjukkan bahwa bangasa Indonesia tetap memilh komitmen yang kuat untuk melakukan upaya sebagai langkah mencerdaskan kehidupan bangsa dalam rangka mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia Internasional. Apapun yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 belum dapat dilakukan sepenuhnya dengan konsekuen, terutama menyangkut penyelenggaraan pendidikan yang masih jauh dari yang sudah diamanatkanl, misalya pelaksanaan pendidikan dasar yang masih jauh dari pengawasan sampai ke daerah-daerah. Oleh sebab itu, para penyelenggara negara harus memperhatikan bahwa prioritas utama dalam pembangunan bangsa adalah pendidikan,  karena pendidikanlah investasi bagi pengembangan sumber daya manusia.
Bila disimak pelaksanaan sistem pendidikan nasional masih belum sesuai dengan tuntutan yang diamantkan dalam pembukaan serta batang tubuh UUD 1945. Ujian nasional hanya memfokuskan salah satu aspek kecerdasan saja yakni intelektual, kurang memperhatikan kecerdasan lainnya seperti kecerdasan emosional dan spritual. Demikian juga biaya pendidikan masih relatif tinggi dan kurang dapat menjangkau setiap warga negara terutama yang berada di desa. Pelaksanaan pendidikan ada kecenderungan eksklusif dengan sistem sekolah unggul, sekolah khusus bagi status sosial yang beruntung dan penyelenggaraan pendidikan oleh badan atau lembaga tertentu dengan pelayanan khusus yang dananya tetap diambil dari dana pendidikan nasional. Pendidikan sebaiknya dikelola dalam satu atap dibawah naungan Sindiknas oleh departemen pendidikan nasional. Memang pendidikan adalah tanggung jawab bersama, akan tetapi bukan berarti bahwa setiap badan atau lembaga melaksanakan pendidikan di bidangnya sendiri. 
Sekolah bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia berkualitas internasional dan lulusannya berdaya saing internasional. Adapun tujuan utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional adalah upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Menurut Haryana (2007), Visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
Visi SBI dirancang agar memenuhi tiga indicator yaitu:
1.       mencirikan wawasan kebangsaan,
2.       memberdayakan seluruh potensi kecerdasan (multiple inteligencies) dan
3.       meningkatkan daya saing global.
Sedangkan Misi SBI merupakan jabaran Visi SBI yang dirancang untuk dijadikan rujukan dalam menyusun/mengembangkan rencana program kegiatan (action plan). Indikator untuk menyusun misi terangkum dalam akronim SMART, yaitu:
1.      Specifis
2.      Measurable (terukur)
3.      Achievable (dapat dicapai)
4.      Realistic
5.      Time Bound (jelas jangkauan waktunya).
Pengembangan SBI di Indonesia didasari oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3. Dalam ketentuan ini, pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Standar internasional yang dituntut dalam SBI adalah Standar Kompetensi Lulusan, Kurikulum, Proses Belajar Mengajar, SDM, Fasilitas, Manajemen, Pembiayaan, dan Penilaian standar internasional. Dalam SBI, proses belajar mengajar disampaikan dalam dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Untuk membangun SBI perlu memperhatikan konsep SNP+X dan karakteristik dari SBI itu sendiri. Namun sejak digulirkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam.
Sekolah Berstandar/ Berstandar Internasional (SBI) dinilai dapat melunturkan citra dan konsep pendidikan nasional. Karena itu, pemerintah perlu mencermati fenomena mulai berkembangbiaknya SBI. Standar internasional yang kerap digunakan dalam SBI pun dipertanyakan. Pemerintah harus mencermati makin banyaknya sekolah yang mengaku berstandar internasional. Jika tidak ada regulasi yang ketat, konsep pendidikan nasional seperti yang diamanatkan dalam konsitusi akan pudar. Saat ini banyak sekolah mengklaim dirinya sebagai SBI. Padahal kurikulumnya biasa saja, atau kurikulum internasional yang digunakan namun pengajarnya tidak mampu menguasai bahasa asing. Artinya, pengertian internasional itu kabur. Jika pemerintah tidak membuat regulasi yang ketat, maka banyak sekolah nasional yang tergerus oleh SBI. Padahal, jika SBI makin menjamur berarti akan terjadi migrasi besar-besaran pengajar asing yang masuk ke Indonesia. Sehingga di Indonesia akan semakin banyak guru yang menganggur dan tidak dipakai karena mereka belum mampu dan mahir dalam mengajar dengan menggunakan bahasa inggris.
Kalau sudah seperti itu, apakah pemerintah sudah memikirkan agenda-agenda terselubung yang juga dibawa para pengajar asing tersebut. Selain itu, lazimnya para pengajar asing itu mengaku lebih berkualitas dibandingkan dengan para guru kita.  Pemerintah semestinya memperketat masuknya investasi SBI ke Indonesia, karena akan melenyapkan keberlangsungan hidup sekolah-sekolah nasional. Ketertinggalan di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga ternyata rupanya menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional. Sektor pendidikan juga termasuk yang didorong untuk menjadi berstandar internasional. Dorongan itu dicantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Dengan berbekal keinginan kuat dan ayat itu maka Depdiknas segera mengeluarkan program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang proyek rintisannya saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan milyar meski peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan seperti itu belum ada. Ini proyek prestisius dan sangat menggiurkan karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 tahun dalam masa rintisan sekolah bertaraf internasional tersebut.
Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI adalah sebagai berikut:
1.        pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery,
2.        menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active learning; enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional
3.        menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran;
4.        proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi
5.        proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya
6.        dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen intenasional, yaitu mengoimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.
Ada beberapa kelemahan mendasar yang dapat diperoleh dari program SBI ini:
1.        Program ini kelihatannya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, dan diperdalam dari konsep tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, maka akan lebih jelas kemana arah dan tujuan dari program ini.
2.        Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut yaitu : Model Sekolah Baru (Newly Developed), Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School), Model Terpadu, dan Model Kemitraan.
3.        Konsep ini berangkat dari asumsi dan anggapan yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar “hard science” dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dan pengetahuannya dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan dengan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Intinya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan dan acuan keberhasilan pengajaran hard science pada sekolah bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual (dwi bahasa) adalah penampilannya, dan penampilan ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik (pendidikan).
4.        Penyusun konsep ini nampaknya juga tidak memahami bahwa tidak semua guru, terutama guru PNS bisa dijadikan fasih dan mahir berbahasa Inggris, apalagi harus mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai contoh, bahkan masih banyak guru kita di berbagai daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dan lancar dalam mengajar. Sebagian dari guru kita di negara ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meskipun tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
5.        Dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai “medium of instruction” di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih berjuang untuk belajar bahasa inggris jelas akan membuat proses belajar-mengajar menjadi kacau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang berresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam pengaruhnya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah.
6.        Kritik paling mendasar sepertinya adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah Bertaraf/ Berstandar internasional itu harus diajarkan dalam bahasa asing (khususnya dengan menggunakan bahasa inggris) dengan menggunakan media pendidikan modern dan canggih seperti laptop, infokus, dll. Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll, tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika mereka ingin menjadikan sekolah mereka sebagai sekolah yang bertaraf internasional. Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi “hard science” dalam bahasa Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang seharusnya bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan dan pembenahan kurikulumnya.
7.        Kesalahan mendasar lain adalah pendapat dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf/ Berstandar Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu. Kurikulum yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, apalagi di bawah rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata dan di atas rata-rata.
8.        Dengan program SBI ini Depdiknas memberikan pandangan/ persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan internasional tersebut adalah sekolah yang akan menjadi Sekolah Bertaraf/ Berstandar Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada.
Berdasarkan pandangan secara filosofis, apa yang meripakan tujuan dari program SBI ini? Apabila yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output atau hasil keluaran pendidikan, maka mengadopsi (menggunakan) atau berpatokan pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawaban yang efektif dan efisien. Bahkan sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berpatokan ke sistem Cambridge adalah sebuah “pengkhianatan” dan tindakan kekeliruan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia, New Zealand, dan negara-negara maju lainnya, pemerintah  negara tersebut tidak membiarkan dan mengizinkan sistem pendidikan luar ataupun internasional seperti Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah dan proses pembelajaran di sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar merupakan sekolah berstatus Sekolah International dengan siswa asing/ luar saja yang boleh menggunakan dan menerapkan sistem pendidikan lain. Sedangkan semua sekolah harus menggunakan kurikulum dan sistem pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, karena mereka berpendapat bahwa pendidikan dirancang untuk mempersiapkan siswa agar berbakti kepada negara dan berpedoman atau berpatokan pada sistem yang dirancang untuk kepentingan bangsa dan negara mereka.
Mengingat betapa banyaknya kelemahan dan kekurangan yang ada dari program prestisius (menggiurkan) ini dan besarnya resiko gagal yang dihadapinya, sudah selayaknya dan sepantasnya Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) mengevaluasi diri dengan lebih membuka diri terhadap masukan dan saran dari masyarakat. Lebih baik mundur satu langkah daripada harus mengalami kegagalan total yang sudah mulai kelihatan di depan mata tersebut. Mungkin perumusan kebijakan di Depdiknas, seperti SBI ini perlu melalui proses konsultasi pada publik atau “stakeholders” berkali-kali dan studi yang lebih mendalam dengan melibatkan lebih banyak publik (masyarakat), dan tidak sekedar memenuhi syarat minimal birokrasi dan pemerintahan. Perlu diingat bahwa masyarakatlah yang membiayai dan yang akan menjadi “end-user” (pengguna akhir) dari produk ini.
Jika sudah demikian maka lingkaran kemiskinan pengetahuan akan terus berputar-putar di dalam arena kehidupan orang-orang tak berpunya atau masyarakat ekonomi lemah. Kesempatan untuk memperbaiki nasib melalui pendidikan tidak akan pernah terwujud karena lagi-lagi mereka harus menerima nasib sebagai orang miskin yang tak bisa mengenyam pendidikan mahal. Sebenarnya kualitas pendidikan itu yang ingin diraih, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan berkualitas di negeri ini identik dengan biaya mahal. Kecuali jika pemerintah mau mengubah paradigma itu. Kecuali apabila pemerintah mau membuat sekolah gratis pada seluruh masyarakat kurang mampu, tetapi meskipun gratis, pendidikan itu juga harus tetap dibuat dengan berkualitas.Bottom of Form
Mengenai UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang telah ‘terlanjur’ dipersepsikan harus mengadopsi kurikulum Cambridge dan IB tersebut maka sebaiknya diberikan dua alternatif untuk itu”
1.        pasal tersebut perlu diamandemen dan disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru
2.        merumuskan kembali apa yang disebut dengan ‘satuan pendidikan bertaraf internasional’ tersebut.
Solusinya adalah program SBI ini harus dirumuskan ulang. Jika tidak maka arah pendidikan nasonal kita akan semakin melenceng dan tidak sesuai dari tujuan dan amanah bangsa dan negara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar