Kamis, 24 November 2011

INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN BERKAH, TANTANGAN ATAU BENCANA BAGI INDONESIA ?


NAMA            : LISA CARSELA SEMBIRING
NIM                : 309 122 034
JURUSAN      : PEND.ANTROPOLOGI

Pada saat ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan sosial besar – besaran dengan corak , istilah , tempo, sosok , peluang , hambatan , serta makna historis yang berbeda – beda. Karena itu, sejarah lokal dan nasional tidak pernah seragam diseantero dunia. Namun, semuanya tidak terlepas satu sama lain. Perubahan global ini ditandai antara lain oleh berakhirnya perang dingin, dan bersamaan dengan itu semakin maraknya pertumbuhan industri, dan kapitalisme dunia. Istilah seperti “ globalisasi “ merupakan salah satu contoh saja dari upaya terkemuka dari beberapa pihak untuk memahami atau memaknai perubahan besar – besaran ini. Tetapi, dengan berbagai variasi maknanya, globalisasi tetap tidak memeuaskan semua pihak yang terlibat atau terkeena dampak perubahan ini. Sebagian menganggap istilah ini besar bunyinya tapi kosong maknanya atau hanya menyatakan kebingungan orang banyak.

Yang sedang berkecambuk bukan sekedar perubahan tata politik dunia atau tata perimbangan kekuasaan militer, atau suatu dinamika ekonomi dan keuangan dunia yang baru. Berbagai sektor perubahan itu memang terjadi dan semua itu menjadi sorotan utama ketika orang berdiskusi tentang masyarakat mutakhir dengan menggunakan istilah – istilah kunci seperti industri, kapitalisme, atau globalisasi. Tetapi perubahan sejarah besar – besaran yang sedang indonesia alami dalam beberapa tahun belakangan juga memperlihatkan hal –hal yang biasa disebut sebagai klebudayaan , nilai – nilai , selera, gaya hidup, ideologi, solidaritas, sosial, gairah , identitas sosial dan sebagainya. Semua yang dinyatakan tersebut belakangaan ini jarang mendapatkan perhatian dan pengamatan sebesar yang diberikan orang kepada persoalan – persoalan politik atau ekonomi.

Dalam memandang sistem pendidikan yang ada di indonesia, ada dua sudut pandang yang berbeda. Di satu pihak, dijumpai mereka yang menyaksikan nasib pendidikan dengan wajah  muram, dan membahsnya dengan penuh ratapan, penyesalan, kalau bukan kemarahan. Antara lain, mereka mengatakan bahwa mutu pendidikan indonesia semakin merosot (dengan berbagai ukuran dan penyebab yang tidak seragam dalam berbagai uraian mereka). Hal – hal seperti industrialisasi atau globalisasi dianggap sebagai sebuah ancaman atau musuh pendidikan.

Di pihak lain, dijumpai mereka yang dengan giat membuka berbagai wilayah baru dalam berbagai dunia pendidikan. Dengan bersemangat mereka meyebarkan berita seakan –akan dunia pendidikan telah menikmati sebuah kebangkitan baru dan kemungkinan – kemungkinan pertumbuhan yang tak terbayangkan sebelumnya. Teknologi informasi, jaringan kerja antar lembaga pendidikan mancanegara, serta semakin meluasnya kesempatan belajar bagi kaum muda usia sekolah dari berbagai latar belakang sosial dikemukakan sebagai beberapa contoh kemajuan terpenting yang pantas dirayakan.
Kaum optimis yang bersorak – sorai menyambut industrialisasi dalam dunia pendidikan mutakhir cenderung memeahami persoalan pendidikan terutama sebagi persoalan angka –angka., hal – hal kebendaan, lembaga, proses interaksi inderawi , dan penerapan pengetahuan atau keterampilan dalam dunia kerja Industri. Sekarang pendidikan menjadi jauh lebih tersebar dan terjangkau oleh berbagai kelompok masysrakat di berbagai pelosok dunia. Perbedaan kesempatan bersekolah antara jenis kelamin, atau antara desa dan kota  sudah jauh lebih baik. Tidak salah jika ini dianggap sebagi sebuah proses pemerataan dan demokratisasi pendidikan. Proses belajar – mengajar juga jauh lebih fleksibel, bahkan menarik berkat berbagai teknologi informasi. Belajar tidak lagi harus berarti bersusah payah, memencilkan diri, bertahan dalam kebosanan, atau mengerjakan sesuatu yang berulang – ulang, lamban dan rumit. Dengan komputer dan internet, pendidikan menjadi penuh warna dan pesona.  

Proses pemeratan pendidikan juga telah disertai perbedaan jenjang dan gengsi dalam berbagai bentuk baru. Ternyata kemudahan., ketepatan, dan kecepatan proses olah informasi tidak sama dengan peningkatan kecerdasan, kreativitas, apalalagi kepekaan anak terhadap masalh sosial. Komputer paling canggih sekalipun tak pernah mampu menjawab persoalan –persoalan etika sosial atau religius yang dapat dikerjakan sebuah sekolah tradisional yang paling bersahaja dalam hal fasilitas teknologi. Malahan berbagai lembag pendidikan padat – teknologi tinggi telah menumbuhkan sebauah ketergantungan baru yang sangat mencemaskan. Ia juga menumbuhkan penyempitan sikap, minat, serta cakrawala pemahaman persoalan menjadi serba singkat, cepat, instrumental.

Sejak pemerintahan kolonial belanda membuka sekolah – sekolah untuk kaum pribumi, pendidikan formal tidak pernah terlepas dari kepentingan politik ekonomi kaum yang sedang berkuasa secara politik, ekonomi, maupun budaya lebih tegasnya, sekolah tidak pernah semata –mata atau terutama dimaksudkan sebagai upaya “ mencerdaskan kehidupan bangsa” atau memajukan ilmu pengetahuan du nia secara abstrak dan universal, atau menyejahterakan rakyat jelata. Kalau dikatakan tidak semata – mata atau terutama, dimaksudkan demikian bukan berarti ia tidak pernah memberikan dampak demikian. Pendidikan seperti halnya pranata sosial apapun yang lain ( agama,ekonomi, politik, kesenian atau bahkan keluarga ) selalu berlangsung dengan unsur – unsur yang saling bertentangan. Tetapi, telah terjadi perubahan penting dan makro dalam beberapa tahun belakangan, bukan dalam hal kiblat atau tujuan, tetapi dalam proses dan perangkat kerja yang selanjutnya berpengaruh pada tujuan pendidikan.
Selama bertahun – tahun pendidikan di indonesia bertumbuh dengan modal piranti keras (kelmbagaan, birokrasi, sumber dana dan daya ) serba pas- pasan. Tetapi semua itu diimbangi oleh modal non material ( semangat, dedikasi, selain kelembagaan, gengsi lokal serta nasional, juga ilusi dan ideologi ) yang tinggi. Semua ini mulai mengalami perubahan besar – besaran selam lebih dari tiga puluh tahun masa pemerintahan orde baru yang menempatkan pertumbuhan ekonomi dan industri sebagai prioritas terpenting. Pertumbuhan pranata pendidkan pada segi badaniah menjadi penting- bersaan dengan mekarnya militerisme yang memuliakan otot kekar dan kejantanan- dan ditunjang oleh berbagai bantuan dari negeri – negeri blok barat yang menjadi sekutu orde baru dalam perang dingin.

Berbagai gedung perkuliahan., perpustakaan, atau labolatorium dibangun gencar pada masa ini. Sebagaimana halnya rumah sakit, jalan raya, pusat pertokoan dan bank di kotakota di indonesia. Jumlah pendaftaran mahasiswa menjadi mekar. Lama pendidikan semakin diperpendek, proses kelulusan dipermudah, dan jumlah lulusan diusahakan maksimal serta meningkat secara berkesinambungan. Kantor keuangan semua lembaga pendidikan itu menjadi semakin sibuk oleh laju dan besarnya lalu lintas dana yang masuk dan keluar. Semakin lama, semakin sulit bagi kantor keuangan universitas untuk mengelola sendiri aktivitasnya : mereka harus mengundang kerja sama dengan lembag pernbankan. Proses pendidikan semakin peka dan berkiblat pada pasaran kerja dalam masyarakat yang mendadak sibuk berindustrialisasi. Tempat parkir di kampus – selain ruang kantin kampus, laboratoriun dan perpustakaan – selalu teras sesak. Semua ini bukan hasil upaya atau keputusan orang atau sekelompok yang berkuasa. Ia merupakan gelombang perubahan sosial mendunia yang melibatkan partisipasi jutaan orang dan lembaga, dengan campur sikap menolak, menerima, dan menghindar.

Salah satu kelanjutan yang tidak dapat dihindari dari proses semacam itu adalah semakin terkaitnya proses pendidikan di berbagai pelosok tanah air degan apa yang terjadi di mancanegara. Industrialisasi indonesia sendiri-seperti halnya legitimasi dan militerisme orde baru – terkait erat dan mendapatkan banyak dukungan dari kerja sama dengan berbagai kekuasaan asing. Ini dapat diamati bukan saja dalam bentuk besarnya banjir beasiswa yang tersedia bagi akademikus indonesia untuk melanjutkan studi ke negri non komunis. Juga sebaliknya kunjungan berbagai akademikus dari berbagai negara-negara itu untuk membantu pendidikan di indonesia. Ada juga berbagai bantuan dalam bentuk kurikulum,piranti pendidikan,struktur administrasi,kiriman buku,teori,dana,hinga sejumlah asumsi pendidikan. Sebagian dari banjir bantuan ini diberikan sebagai tawaran yang disodorkanpihak donor dan diterima degan penuh terimakasih oleh lembaga pendidikan di indonesia. Sebagian juga merupakan hasil usaha meminta-minta dari pihak indonesia. Jadi,tidak dapat dikatakan bahwa yang terjadi adalah inperialisme atau neo-kolonialisme barat dalam pengertian pemaksaan sepihak di bidang pendidikan. Yang jelas pendidikan tinggi indonesia perlahan-lahan meninggalkan model pendidikan belanda(misalnya gelar Drs/Dra)dan berkiblat pada pendidikan tinggi model amerika serikat(misalnya sistem kredit dan masa pendidikan empat tahun untuk S1).


Seperti halnya perekonomian indonesia, pendidikan indonesia tidak saja mengalami proses industrialisasi tetapi juga internasionalisasi. Ada perbedaan penting yang layak disimak diantara proses itu dalam bidang ekonomi dan proses serupa dalam bidang pendidikan secara lebih khusus, perbedaan yang penting terjadi pada status dan nasib perusahaan-perusahaan degan status atau nasib lembaga-lembaga pendidikan bagi perusahaan-perusahaan besar,globalisasi biasanya merupakan peluang,rejeki,dan impian yang menjadi kenyataan. Tanpa globalisasi upaya dagang dan akumulasi modal sering kali terbentur oleh batas-batas kedaulatan,birokrasi,atau sentimen kebangsaan-kenegaraan. Globalisasi dalam bentuk pertumbuhan bidang informasi,komunikasi,dan transformasi merupakan sebuah peluang atau jembatan emas bagi para pemodal untuk menembus berbagai batas ruang dan waktu bagi akumulasi modal dan perbesaran laba sebesar-besarnya.

Walau tidak dapat dibandingkan secara berlebihan,ilustrasi yang disampaikan berguna untuk memahami kondisi pendidikan di indonesia. Sementara tenaga dosen,dan terlebih-lebih lagi mahasiswa mempunyai mobilitas internasional tinggi- seperti halnya ilmu informasi,dan buku perpustakaan- lembaga pendidikan pada umumnya bersifat menetap di suatu lokasi dan struktur birokrasi kenegaraan. Memang ada beberapa universitas mancanegara yang mulai membuka cabang di negara lain atau membina kerja sama dengan lembaga dari negara lain. Tetapi,pada umumnya ia tidak bisa berpindah-pindah lokasi semudah,secepat,atau sebanyak modal dan pemodal dalam dunia perdagangan. Itu sebabnya lebih banyak usaha untuk membujuk dan memboyong mahasiswa berkualitas dalam sekala besar-besaran(juga tenaga pendidik dalam sekala lebih kecil) dari berbagai negara untuk bergabung dalam sebuah universitas besar yang terikat dalam sebuah wilayah dan struktur administrasi kenegaraan. Degan kata lain, mahasiswa(disusul dosen) lebih diuntungkan dan puya keungulan lebih tinggi dari pada universitas dalam proses  globalisasi. Semakin hari mahasiswa lebih diperebutkan universitas dari pada sebaliknya.  

Mulai pertengahan 1990- an , dan terlebih – lebih lagi pada peralihan menuju abad ke 21, mahasiswa dari asia dianggap sebagai anak – anak emas, sumber penyelamat lambaga pendidikan di Barat dari bahaya kebangkrutan, bukan karena anak –anak Asia ini rajin atau pandai ( walau memang benar banyak diantara mereka biasanya sangat rajin dan sebagian sangat cerdas ) , tetapi karena mereka mampu mengisi kas keuangan lembaga –lembaga di Barat yang sedang menderita kering kerontang dalam bentuk biaya kuliah dan pendidikan. Walau banyak negara Asia menjadi sasaran utama bantuan keuangan dari berbagai lembaga internasional, dan masih menanggung utang berbukit, Asia juga dianggap sebagai lambang kemamkmuran di mata para pengelola pendidikan karena kekayaan para orang tua yang menjadi pejabat – pejabat negara itu atau pemilik modal disana.

Anak anak Asia mendapat perlakuan istimewa dalam berbagai birokrasi pendaftaran dan perkuliahan. Gejala ini tidak merata, dan kini lebih terasa di negeri Australia, dari pada di Amerika Serikat dan Eropa. Tetapi, sebagai gejala umum ia dapat dijumpai di berbagai tempat itu dengan kadar berbeda. Seorang rektor sebuah universitas besar di Australia baru –baru ini menyatakan dengan jelas bahwa pada zaman ini pendidikan merupakan salah satu industri terbesar dan terpenting di dunia. Jadi, pendidikan dapat di deret berdampingan dengan industri komputer, telepon genggam, tekstil, minyak, kalau bukan bursa saham. Rektor yang sama dengan rendah hati mengatakan bahwa universitas tidak mampu mengubah dunia membuatnya lebih baik.

Gejala makro itu menjelmakan diri secara keseharian dalam suasan perkuliahan di kelas – kelas di berbagai tempat di dunia. Hukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pendidikan pada tingkat global juga merebak pada tingkat lokal dikampus dan ruang kelas serta bermuara pada interaksi dosen mahasiswa. Sesuai dengan hukum penawaran – permintaan, fakultas atau jurusan yang laris di anak emaskan misalnya ekonomi, bisnis, manajemen , kedokteran, tekhnik atau komputer. Adapun bidang pendidikan seperti filsapat, bahasa, sejarah, pendidikan, atau etika diancam tutup karena kurangnya peminat. Para mahasiswa sendiri berbondong – bondong memlih bidang studi yang laris bukan berdasarkan minat dan bakat, tetapi prospek pasar kerja yang tersedia sesuai dengan lulusan. Di masing – masing jurusan yang kering dan kurus, terjadi persaingan dan ancaman serius terhadap status kepegawaian dosen yang kuliahnya kurang diminati mahasiswa. Kelas kecil sama seperti toko yang kecil. Ia harus ditutup karena membebani ongkos lembaga yang bersangkutan, para dosennya diberhentikan dan minta mengajar bidang lain yang bukan minatnya tetapi memiliki nilai pasar.

Di  hampir semua kampus di negara –negara industrial, seperti fakultas dihargai dan hanya bisa bertahan hidup apabila berhasil mendatangkan sejumlah mahasiswa peminat dan pembayaran uang kuliah. Akibatnya setiap dosen yang bekerja di fakultas itu juga di hargai menurut kemampuannya “ menjual “ perkuliahan yang dihitung menurut jumlah siswa. Semua ini bisa berakibat buruk apabila tidak ada mekanisme kontrol secara kelembagaan. Untuk mmenarik mahasiswa sebanyak – banyaknya para dosen bisa saja berlomba membuat pelajaran seringan mungkin, ujian semudah mungkin, nilai semurah mungkin, pekerjaan rumah sedikit mungkin dan supaya mahasiswa senang membuat perkuliahan sesantai mungkin dengan lelucon dan bukan analitis kritis. Promosi pangkat, status bonus tahuanan, cuti dan sejumlah hak kerja sang dosen ditentukan antara lain oleh perhitungan semacam itu menurut sebuah rumusan matematika yang sudah dibakukan secara resmi. Akibatnya di sejumlah fakultas atau jurusan ilmu –ilmu sosial dan humaniora, jumlah dosen teramat kecil, gaji mereka ditekan seminim mungkin, dan beban tugas mereka berlimpah. Semua ini demi menekan ongkos produksi pendidikan. Akibatnya berikutnya, para dosen itu terlalu sibuk mempertahankan status kepegawaiannya, tak pernah punya waktu cukup untuk berinteraksi dengan mahasiswa di luar jam kuliah, atau bahkan untuk mengembangkan diri secara intelektual.

Pendidikan indonesia yang semula lebih banyak bertumpu pada birokrasi yang berpusat pada partai elit politik yang sedang berkuasa di geser oleh sebuah kompetisi global yang berpusat pada “ pasar “ yang juga tidak pernah sepenuhnya bebas dan adil. Apa yang terjadi di indonesia dapat diibaratkan sebgai sebuah proses besar – besaran dari negara yang menganut sistem perekonomian komando partai seperti di negara – negara komunis menuju ke pasar setengah bebas. Walau mengaku arti komunis, kehidupan sosial politik juga kebudayaan dan pendidikan di masa orde baru tidak jauh berbeda dari yang ada di negara – negara komunis. Politik dan birokrasi menjadi panglima ( sementara jenderal dan panglima menjadi politikus dan pengusaha ). Pendidikan menjadi sebuah ritual propaganda dan produksi slogan, secara perlahan – lahan di tahu 1970 dan 1980 dan secara hebat pada tahuan 1990- an proses itu digempur oleh tuntutan kapitalisme global.

Yang terjadi pada sistem pendidikan indonesia adalah bergantinya berkah lama dan berkah baru dan lenyapnya bencana lam adigantikan bencana baru. Dampaknya berbeda – beda bagi berbagai kelompok sosial. Yang jelas dengan merosotnya campur tangan politik dalam pendidikan ( kewajiban P4, sloganisme, penindasan lewat korpri dan dharma wanita ) tidak berarti pendidikan menjadi serba indah, merdeka, dan otonom. Dalam perubahan yang sedang berlangsung, hukum pasar mendikte dinamika pendidikan dengan berbagai eksesnya.

Bagi sebagaian akademikus indonesia serta para orang tua indonesia yang kaya, pendidikan luar negeri menjadi altenatif terhadap yang tersedia di indonesia. Sebuah angan –angan kadaluarsa biasanya berarak – arak dalam pandangan mereka tentang kehebatan pendidikan di luar negeri itu. Disana  berbagai karya ilmiah dihasilkan. Kelancaran pengajaran dan kelimpahan sumber daya menjadi salah satu legenda yang menggiurkan para akademikus indonesia. Seakan –akan disana otonomi kampus bersamaan dengan kebebasan berpendapat dan belajar menjadi sebuah kenyataan yang lumrah. Kretivitas dan segala nilai peradapan yang agung, seakan –akan berkelimpahan, padahal di indonesia menjadi barang langka. Mitos sepertii ini merupakan salah satu bentuk keberhasilan ideologi pascakolonial Barat yang bisa dijual untuk menarik minat anak –anak muda Asia agar bersekolah dan membayar uang kuliah di mancanegara.

Berbeda dari gambaran umum yang terbesar di indonesia, kebanyakan akademikus di negeri asing itu tidaklah berlomba – lomba mendalami ilmu semata – mata untuk menemukan kebesaran ilmiah atau jagad raya. Mereka memang bekerja keras, jauh lebih keras dari pada rata – rata akademikus di negara berkembang. Tetapi hal itu mereka kerjakan karena dipaksa oleh sebuah tata kerja yang berupaya bekerja mengejar omset tahunan dalam sejumlah bentuk material maupun non material.

Masa globalisasi sekarang batasan dalam – luar negeri semakin kabur walau tidak sepenuhnya lenyap. Industrialisasi pendidikan bukan sebuah pilihan yang bisa dipeluk atau ditolak secara bebas. Ia sudah dan masih sedang menjadi bagian dari tulang sum – sum praktek pendidikan di indonesia. Karena proses ini baru belakangan berlangsung secara gencar dan tidak sedikit yang kaget – kagetan. Misalnya semakin lumrahnya sekolah dan pendidikan tinggi dijajarkan dan diiklankan di pusat – pusat perbelanjaan diantara toko – toko yang berjualan shampo, pharfum dan celanan jeans. Ini sama barunya dengan gejala pengiklanan industri warta berita baik cetakmaupun televisi. Orang membuat berita bukan karena ada peristiwa penting, dan orang mengikuti berita bukan karena butuh informasi tentang dunia. Yang terjadi adalah orang berjualan berita dan publik membeli hiburan atau gosip.


Jauh – jauh hari dalam dunia pendidikan di indonesia sendiri sudah ditanamkan semangat kapitalismme dan hukum pasar, walau pada saant patriotisme, kolonialisme dan feodalisme politik masih menjadi payung besarnya. Bentuknya yang paling konkrit adalah sistem kredit. Proses pendidikan di pecah – pecah menjadi satuan unit perkuliahan dan dijual belikan secara eceran. Setiap mahasiswa bekerja dan dinilai secara individual dan dihargai secara kumulatif dalam sebuah medan kegiatan yang bersifat kompetitif.

Bila proyek ekonomi kampus di indonesia dilancarkan secara sungguh – sungguh dan berlangsung sukses, maka sulit dibendung apalagi dilawan, melebarnya sebuah kesenjangan sosial dan intelektual yang mencolok. Akan ada sejumlah universitas maha kuat dan maha kaya, ada yang maha lemah dan maha miskin. Ada bidang studi yang super giat, gemilang, bergengsi selain kaya raya. Ada sejumlah bidang studi yang sangat merana, merayap – rayap, atau punah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar