Minggu, 20 November 2011

PENGARUH LINGKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER SISWA


PENGARUH LINGKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER SISWA
Oleh:
Astri Annisyah Simanjuntak

I.         PENDAHULUAN
Kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku (Wynne, 1991). Dalam bahasa Inggris, character bermakna hampir sama dengan sifat, perilaku, akhlak, watak, tabiat dan budi pekerti (Taryana & Rinaldi, www.sd-binatalenta.com). Oleh karena itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek. Sementara orang yang berperilaku jujur atau suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter sangat berkaitan erat dengan personality (kepribadian), yang mana seseorang disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Sementara itu, Kilpatrick (1992) dan Lickona (1992) sebagai pencetus utama pendidikan karakter percaya adanya keberadaan moral absolute. Mereka meyakini bahwa nilai moral tidak hanya bersifat relatif tetapi juga ada nilai moral yang bersifat absolut yang bersumber dari berbagai agama di dunia. Moral absolut yang disebut the golden rule ini perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar, misalnya menanamkan sikap jujur, suka menolong orang, saling menghormati, dan bertanggung jawab.
Ahli lain, Kurtus (1997), berpendapat bahwa karakter adalah satu set tingkah laku atau perilaku (behaviour) dari seseorang sehingga dari perilakunya tersebut, orang akan mengenalnya “ia seperti apa”. Menurutnya, karakter akan menentukan kemampuan seseorang untuk mencapai cita-citanya dengan efektif, kemampuan untuk berlaku jujur dan berterus terang kepada orang lain serta kemampuan untuk taat terhadap tata tertib dan aturan yang ada.
Kaitannya dengan pendidikan moral, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, namun juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga anak menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik, lalu dapat melakukannya (domain psikomotor) (Martianto, dalam www.tumoutou.net).
Lickona (1992) juga menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) ,dan perbuatan bermoral (moral action). Dalam hal moral knowing, terdapat enam hal sebagai tujuan diajarkannya pendidikan moral, yaitu kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai moral (knowing moral values), penerimaan perspektif (perspective taking), alasan tentang moral (moral reasoning), pengambilan keputusan (decision making) dan pemahaman diri (self-knowledge). Sementara pada moral feeling terdapat enam aspek emosi yang diharapkan dapat dicapai seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yaitu: kesadaran (conscience), harga diri (self-esteem), empati (empathy), menyukai kebaikan (loving the good), kontrol diri (self-control), dan kerendahan hati (humility). Sedangkan moral action merupakan hasil dari dua komponen karakter sebelumnya.
Ahli lainnya yaitu Megawangi (1999) sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang disebut sebagai 9 pilar karakter yaitu: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah dan kejujuran; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; serta (9) toleransi, cinta damai dan persatuan.
Kaitannya dengan pengembangan karakter, Rizal (dalam www.sahabatnestle.co.id) mengatakan bahwa karakter seseorang tidak dapat diubah, namun lingkungan dapat menguatkan atau memperlemah karakter tesebut. Oleh karena itu orang tua sebagai acuan pertama anak dalam membentuk karakter perlu dibekali pengetahuan mengenai perkembangan anak dengan melihat harapan sosial pada usia tertentu, sehingga anak akan tumbuh sebagai pribadi yang berkarakter. Menurut Taryana dan Rinaldi (www.sd-binatalenta.com), karakter terbentuk dari proses meniru yaitu melalui proses melihat, mendengar dan mengikuti. Maka karakter sesungguhnya dapat diajarkan secara sengaja. Oleh karena itu seorang anak dapat memiliki karakter yang baik atau juga karakter buruk, tergantung sumber yang ia pelajari.
Perubahan karakter seorang anak dapat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat, dimana di lingkungan masyarakat tersebut seorang anak memperoleh pengetahuan serta bergaul dengan teman sebayanya. Dalam masyarakat pastinya ada pengauh baik dan pengaruh buruk terutama dalam memilih teman. Sekarang banyak anak yang membangkang kepada orang tua karena meniru perilaku teman-temannnya, serta pegetahuan yang semestinya belum pantas mereka dapatkan kini sudah mulai mengetahui bahkan melakukannya, dan membentuk karakter buruk terhadap anak.
Lingkungan masyarakat merupakan lingkungan ketiga dalam proses pembentukan kepribadian anak-anak sesuai dengan keberadaannya. Lingkungan masyarakat akan memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam pendidikan anak, apabila diwujudkan dalam proses dan pola yang tepat. Tidak semua dari ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap dapat di kembangkan dalam keluarga maupun sekolah dalam diri anak, karena keterbatasan dana dan kelengkapan lembaga tersebut. Kekurangan yang drasakan dapat diisi dan dilengkapi oleh lingkungan masyarakat dalam membina pribadi peserta didik secara utuh dan terpadu. Pendidikan dalam lingkungan masyarakat akan berfungsi sebagai pelengkap, pengganti, dan tambahan terhadap pendidikan yang diberikan oleh lingkungan lain (Dewantara, 1987:120).
Dalam lembaga pendidikan ini akan dapat dikembangkan bermacam-macam aktivitas yang bersifat pendidikan oleh bermacam-macam instansi maupun jawatan dan lembaga pendidikan maupun nonpendidikan. Kegiatan pendidikan yang berfungsi sebagai pelengkap perkembangan kepribadian secara individual maupun kelompok ialah pendidikan keterampilan, sebagai akibat belum mantapnya apa yang telah mereka terima pada sekolah atau dalam keluarga.
Lingkungan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti hanya menyediakan pendidikan bukan sekedar tambahan atau pelengkap, tetapi adalah mengadakan pendidikan yang berfungsi sama dengan lembaga pendidikan formal di sekolah. Hal ini dilaksanakan karena keterbatasan kemampuan lingkungan sekolah, sehingga tidak mampu melayani semua lapisan dan semua anggota masyarakat yang ada, maka masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyelenggarakan sekolah-sekolah swasta.
Hal ini menarik untuk dibahas karena suatu karakter mencerminkan diri seseorang. Khusus untuk peserta didik atau siswa seharusnya memiliki karakter yang baik untuk bersosialisasi terhadap lingkungan masyarakat. Karakter seseorang awalnya diperoleh dari lingkungan keluarga, kemudian dibentuk kembali di lingkungan sekolah dengan adanya pengaruh pendidikan dari guru yang mengajarkan nilai-nilai baik dalam kehidupan dan memberikan ilmu kepada siswanya. Tetapi lingkungan masyarakat lebih kuat membawa perubahan terhadap perkembangan karakter siswa terutama lingkungan teman sebaya.

II.      PEMBAHASAN
Dalam kajian psikologi, dikenal dengan tiga teori perkembangan manusia yang akan berpengaruh pada perkembangan karakter dan catatan sejarah manusia. Salah satunya adalah teori Empirisme yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke. Dengan teori ini, setiap manusia yang dilahirkan dari rahim seorang ibu dianggap tidak memiliki pembawaan karakter apaun sebagaimana kertas  putih sehingga lingkungan dimana ia tinggallah yang akan memoles dan membentuk bagaimana perkembangan manusia berikutnya. Implikasi teori ini akhirnya menghendaki bahwa sejarah perkembangan kehidupan seseorang akan amat ditentukan oleh kekuatan intensitas pengaruh lingungan tempat dimana dan bersama siapa ia tinggal.
Tingkah laku seorang siswa di sekolah sudah banyak yang melanggar etika, moral seorang siswa yang berpendidikan tidak sesuai lagi dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain keluarga, kelompok teman sebaya juga berpengaruh penting bagi perkembangan siswa. Tetapi pengaruhnya yang paling kritis selama tahun-tahun perkembangan mereka ketika masih kanak-kanak dan remaja. Banyak anak yang mengalami kesulitan menghadapi anak bukan karena keluarga mereka tidak memberikan kebiasaan yang baik. Demikian juga banyak anak yang tetap dapat menjadi baik justru tumbuh di keluarga yang kurang baik.
 Keprihatinan dan kerisauan, boleh jadi dua kata yang patut dikemukakan berkaitan dengan problem moral yang melanda para pembelajar (siswa dan mahasiswa) dewasa ini. Hal itu antara lain terlihat dengan sering terjadinya perkelahian massal antar sekolah dan perguruan tinggi, munculnya geng-geng di sekolah yang kerapkali mempertontonkan tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, merebaknya seks bebas, kehamilan di luar nikah, dan semakin meningkatnya kecenderungan bunuh diri. Problem moral tersebut tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan emosi para pembelajar, terutama terkait dengan pembentukan karakter mereka.
Orang tua terus memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan anaknya, yaitu dari usia dini bahkan sampai remaja. Kekuatan pengaruh dari kelompok teman sebaya lebih penting ketika hubungan keluarga tidak dekat dan kurang mendukung. Misalnya saja jika orang tuanya bekerja diluar kota sehingga jarang bertemu dengan anaknya maka mereka berpaling kepada teman-temannya untuk mencari dukungan emosional. Perkembangan emosional anak menjadi terganggu akibat kurangnya pengawasan dari orang tua serta banyak meniru perilaku teman-temannya, sehingga anak yang mempunyai karakter baik di lingkungan keluarga menjadi berubah menjadi seorang anak yang membangkang, tidak menurut kepada orang tua karena kurangnya kedekatan emosional.
Selain itu, kelompok teman sebaya dapat memiliki pengaruh positif, suatu fakta yang telah dikenal banyak orang tua dan guru selama bertahun-tahun. Banyak orang tua yang mempunyai persepsi bahwa pengaruh teman sebaya dapat memiliki dampak positif pada motivasi akademik dan kinerja anak-anak muda. Sebaliknya, “bermain api” dengan obat-obatan, minuman alkohol dan mencuri juga dapat meningkat melalui interaksi dengan teman sepermainan.
Sulit untuk dipisahkan apakah karena kondisi keluarga atau lingkungan sebaya dan pergaulan. Namun sebaiknya para orang tua perlu mengantisipasi beberapa indikasi negatif berikut ini:
·      Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.
·      Anak mulai menyukai kegiatan luar rumah pada jam-jam belajar di rumah dan mengalihkan pada kegiatan non-belajar, seperti: jalan-jalan ke mall, play station, dan tempat nongkrong lain.
·      Anak-anak merasa kesulitan menghafal atau mengerjakan PR secara terus menerus tetapi merasa ketagihan untuk melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pencerdasan diri. Berdasarkan pengamatan Prof. Kusdwiratri (Desember, 2004) menurunnya minat intelektual disertai tidak berminatnya pada kegiatan lain yang mencerdaskan anak bukti berhasilnya sistem hiburan secara massal terhadap anak-anak Indonesia dan dunia belajar anak yang gagal. Perlu diwaspadai jangan sampai pengaruhnya berlangsung permanen.
Ketika orang tua berusaha melindungi anak-anaknya dengan mengatakan agar menjauh dari teman-teman tertentu, mereka harus menyadari bahwa kadang-kadang ini hanya mendorong mereka mencari model peran yang negatif. Orang tua harus mendukung anak mereka dan mengarahkan acara dan kegiatan anak-anaknya agar lebih positif dan prososial. Anak-anak dan remaja tanpa hubungan keluarga yang kuat atau setidaknya hubungan positif dengan orang dewasa lain dalam kehidupan mereka, menghadapi resiko yang lebih tinggi dari pengaruh negatif dari kelompok teman sebaya. Jika anak belum mampu membentuk ikatan dengan kelompok teman sebaya yang positif, maka semakin besar kemungkinan mereka akan dianggap sebagai jauh dan berbeda dari teman-teman mereka, membuat mereka merasa lebih seperti orang luar.

III.   PENUTUP
Dari uraian diatas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa selain keluarga yang menjadi latar belakang pertama dan paling utama untuk pendidikan karakter, pengembangan karakter sejak usia dini haruslah menjadi kepentingan utama pihak lembaga pendidikan. Tugas membangun karakter haruslah menjadi tugas besar bersama antara keluarga dan lembaga pendidikan. Dalam periode tersebut, sifat-sifat baik seperti berlaku adil, jujur, patriotisme, rela berkorban, ketulusan hati, tanggung jawab, penghargaan diri, toleransi, dan lain-lain harus disuntikkan ke dalam jiwa si anak.
Pengawasan dari orang tua tetap perlu untuk perkembangan anaknya agar tetap terkontrol dan tidak akan menjurus pada hal yang negatif. Tetapi kebanyakan orang tua yang lepas tangan terhadap perkembangan anaknya, misalnya saja di lingkungan keluarga oran tua yang sibuk bekerja tidak memperhatikan anaknya, ia memberikan tanggung jawab kepada pengasuh, sehingga anak lebih dekat kepada pengasuhnya dan kedekatan secara emosional terhadap orang tuanya jadi berkurang. Bagaimana cara pengasuhan dari pengasuhnya tersebut, itulah yang di tiru oleh si anak dan awal pembentukn karakter telah terjadi. Kemudian setelah beranjak dewasa, orang tua menitipkan anaknya dilingkungan formal, yaitu lingkungan sekolah. Di sana guru mengajarkan nilai-nilai baik dalam beretika kepada orang lain, mendapatkan pengetahuan yang lebih membuat si anak lebih dominan berfikir apa yang pantas ia lakukan. Selain lingkungan sekolah ada juga lingkungan masyarakat yang mempengaruhi perilakunya. Di lingkungan masyarakat, seorang anak memperoleh pengetahuan yang belum didapatkannya di lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah.
Di sekolah, anak diajarkan untuk bersosialisasi, bergaul dengan orang lain, maka di masyarakat si anak mengaplikasikannya dengan cara bergaul dengan teman sebaya. Kelompok teman sebaya ada yang membawa pengaruh baik dan ada juga yang membawa pengaruh buruk. Yang merupkan pengaruh baik dari kelompook teman sebaya tersebut adalah teman menjadi pemicu motivasi belajar dan mempengaruhi prestasi belajar dari siswa tersebut, kemudian dengan seringnya bergaul dengan teman sebaya jua dapat mengajarkan kita bersikap toleransi, tanggung jawab, jujur, serta mandiri. Dengan sikap-sikap baik itu akan membentuk karakter yang baik pula pada diri seseorang karena karakter merupakan ciri khas dari seseorang yang bersifat individual. Sedangkan pengaruh buruk dari kelompok teman sebaya adalah merubah kita menjadi seorang yang tidak mempunyai etika, moral yang buruk mengakibatkan pandangan buruk terhadap diri seseorang dan citranya dalam masyarakat juga akan jelek. Seorang anak remaja masih labil emosionalya sehingga sangat mudah dipengaruhi. Setiap anak awalnya memmpunyai karakter yang baik.
Dengan adanya pengaruh dari luar maka akan terwujud sikap yang tidak baik. Tetapi pendidikan karakter dapat dilakukan secara sengaja  dan apabila seorang anak yang telah terpengaruh dampak negatif dari pergaulan tersebut juga dappat diberi nasehat, pendidikan untuk merubahnya ke keadaan semula, menjadi anak yang baik dan memiliki karakter yang baik pula. Maka dari itu, seorang anak tidal boleh lepas dari pengawasan orang tua karena orang tua merupakan wadah si anak untuk memecahkan suatu masalahnya dan pendekatan emosional terhadap anak harus tetap terjaga agar anak tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif di lingkungan masyarakat.


IV.   DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan. 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung : Alfabeta.
Tim Pengajar. 2011. Filsafat Pendidikan. Medan : Universitas Negeri Medan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar