Selasa, 15 November 2011

THOUGHTS CONCERNING EDUCATION

Nama              : Malthus Rodinasa Lumban Gaol
Nim                 : 309 122 035
M.Kuliah        : Filsafat Pendidikan

Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yakni, Philosophia. Kata tersebut terdiri dari Philein yang berarti cinta dan Sophia berarti kebijaksanaan. Maka dapat ditarik kesimpulan secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Sedangkan Pendidikan adalah suatu proses penalaran atau intelektual yang mencakup pengembangan moral atau kepribadian, karakter atau sikap anak yang meliputi berbagai kecerdasan yang dapat dikembangkan dalam kehidupan anak sebagai manusia (tim pengajar).

Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
Dalam pemikiran tentang pendidikan atau filsafat pendidikan ada beberapa level pemikiran :
Menurut Broudy (1965), berbagai masalah pendidikan dapat dibicarakan pada empat level pemikiran:
1.      Tingkatan emosi (emotional level),
2.      Tingkatan fakta atau informasi (factual or informational level),
3.      Tingkatan eksplanasi atau teori (explanatory or theoritical level),
4.      Tingkatan filosofis (philosophical level).

Ø  Tingkatan Emosi
Manusia memiliki emosi yang berbeda-beda, tergantung dengan situasinya. Dalam proses pendidikan memerlukan emosi yang stabil. Tetapi banyak juga kita lihat pada fenomenanya bahwa tingkat emosional dalam pendidikan baik pada peserta didik maupun pada pendidiknya terbilang tinggi, seperti seorang pendidik yang mendidik perserta didik dengan cara keras, tidak mengatur emosional dalam mendidik. Hal ini merupakan perlakuan yang tidak sesuai dengan cara mendidik yang benar.
Seharusnya para pendidik harus dapat memberikan contoh kepada muridnya (peserta didik), dalam hal ini mengatur emosional. Karena dalam mendidik murid harus memiliki perasaan. Sifat yang demikian dapat mempengaruhi peserta didiknya kelak.
Dalam pendidikan dimana peserta didik juga memiliki masalah dalam tingkatan emosional. Misalnya dalam berdiskusi banyak peserta didik yang tidak dapat menahan emosionalny. Seperti ada seorang sisiwa yang berbicara mengenai bahan diskusi kemudian ada siswa lainnya langsung memotong pernyataan dari siswa tersebut karena ia tidak setuju dengan pernyataan dari kelompok tersebut. Dalam hal ini si anak tidak dapat mengatur emosionalnya dan kurang memiliki etika. Level emosional bukan prosedur yang baik untuk mengambil  keputusan.

Ø  Tingkatan Fakta atau Informasi
Level fakta, pendidikan dipikirkan berdasar informasi dan fakta yang direduksi guna mendapat data melalui pengujian. Fakta-fakta itu membantu membedakan antara informasi yang benar dan salah sehingga bisa diambil keputusan yang tepat.
Dalam hal ini harus di ketahui bahwa informasi yang didapat adalah benar, karena pengetahuan haruslah bersifat empiris berdasarkan fakta-fakta yang ada. Informasi yang didapat merupakan pengetahuan yang menjadi dasar dalam pendidikan.

Ø  Tingkatan Teori
Level teori, dibicarakan pendidikan berdasar teori-teori yang ada. Teori adalah kesatuan ide yang berhubungan satu sama lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan fakta-fakta. Jenis teori yang digunakan dalam mendiskusikan masalah pendidikan adalah tentang perilaku manusia dan teori belajar. Tipe teori-teori ini tergambar dalam psikologi dan ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, sosiologi, antropologi, dan semacamnya dan sering disebut teori empirik atau ilmiah.

Ø  Tingkatan Filsafat
Level filsafat, filsafat merupakan suatu pemikiran. Dalam hal ini pendidikan dibicarakan berdasarkan argumen-argumen rasional yang diturunkan dari teori-teori tentang hakikat kebenaran, kebergunaan, dan realitas. Teori-teori ini amat umum, memberi dasar dan validasi bagi semua pengetahuan dan perilaku manusia dalam pendidikan. Teori tentang mengapa dan bagaimana orang harus berperilaku dan belajar, merupakan tema pokok kajian filsafat pendidikan.
Filsafat pendidikan antara lain diperlukan untuk memberi argumen rasional dan logis tentang mengapa suatu tujuan dipilih, mengapa kurikulum disusun seperti itu tidak seperti ini, bagaimana guru harus mengajar dan disiapkan. Jika tidak terjadi koherensi antara filsafat dan berbagai komponen utama pendidikan, praktik pendidikan akan mengalami berbagai anomali. Situasi anomali itulah yang kini sedang terjadi di dunia pendidikan kita. Rumusan tujuan pendidikan yang berbelit-belit dan sarat muatan politis-ideologis, berbagai perubahan yang sering terjadi tanpa maksud dan arah jelas pada kurikulum seperti pembatalan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), sikap pro kontra terhadap ujian nasional (UN), dan timbul tenggelamnya diskusi pendidikan budi pekerti mempertegas tiadanya fondasi dan ideologi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Di Indonesia, pemikiran pendidikan (di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK disebut studi fondasi pendidikan) terhenti saat Orde Baru menekankan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan dianggap sumber daya manusia sejauh di bawah payung produksi. Maka, kualitas pencerdasan sejati terabaikan. Kenyataan itu diperburuk, pertama, kebijakan pendidikan yang sekadar mengimplementasikan pikiran elite dan otoritas pendidikan yang sedang berkuasa sehingga diskusi-diskusi (kalau ada) hanya berkisar pada masalah-masalah teknis operasional, jarang masuk substansi yang memerlukan tinjauan teori, filsafat, dan ideologi pendidikan. Hal ini mendorong dihapusnya jurusan Filsafat Pendidikan di LPTK.
Kedua, metodologi pembelajaran pada semua tingkat tak terbiasa mengajarkan kemampuan berpikir (learning how to think), tetapi lebih mengisi pikiran. Lulusan sekolah umumnya tak terbiasa atau tidak terampil berpikir saintifik, apalagi kritis (filosofis). Fenomena irasionalitas di masyarakat tecermin dalam keberingasan, provokasi, mitis, dan mistis. Kenyataan ini melanda semua orang, termasuk akademisi, elite politik, dan eksekutif. Perilaku mereka sering menunjukkan akal pendek dan nalar yang kacau.
Ketiga, masih kuatnya jiwa korupsi (corrupted mind) pada lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan. Kebijakan dan program yang dirancang jarang diwacanakan secara hakiki, hanya dipertanyakan sebatas apa yang diperoleh dari proyek ini.
Akademisi kita pun disibukkan aktivitas mengejar angka kredit demi pangkat dan jabatan, tanpa mengutamakan isi dan signifikansi. Berbagai diskusi yang mengasah pikiran kurang diminati. Virus-virus korupsi ini mengancam sendi-sendi pendidikan karena bersemi di lubuk guru, dosen, kepala sekolah, dan birokrat pendidikan.
Maka, matilah gairah mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran
pendidikan pada institusi-institusi kita. Kematian pemikiran pendidikan inilah yang berdampak buruk pada anomali kebijakan dan praktik pendidikan di Indonesia.
1.      Mahalnya Biaya pendidikan
Inilah masalah utama pendidikan di Negeri ini, yaitu mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak Indonesia. Jangankan untuk sekolah Swasta, Untuk sekolah negeri pun, biaya pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang diberikan oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi masalah mahalnya biaya pendidikan ini.
2.      Kurangnya Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Bagi sebagian orang, pendidikan adalah hal yang biasa, namun bagi banyak orang yang berada di wilayah terpencil, pendidikan adalah barang mewah dan sangat berharga. Kenapa? karena memang di negara yang menganut paham desentralisasi ioni, pendidikan lebih difokuskan di wilayah-wilayah pokok yang lebih potensial. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kurangnay pemerataan dan menjadikan kesenjangan dalam pendidikan.
3.      Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan
Kita tentu sudah banyak mendengar berita tentang sekolah roboh, atau sekolah rusak karena bangunanya yang sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Inilah salah satu bukti betapa Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.
4.      Masih rendahnya kesejahteraan Guru
Salah satu acuan yang bisa diukur untuk menentukan Keberhasilan pendidikan adalah tingkat kesejahteraan para Guru. Namun apa bisa dikata, Di Indonesia masih banyak guru yang dibayar dengan upah yang kurang layak atau bahkan tidak layak. Walaupun banyak orang beranggapan bahwa guru itu adalah profesi yang mewah, namun tetap saja masih banyak guru yang belum bisa menerima hasil jerih payahnya secara adil.
5.      Rendahnya Prestasi Siswa
Dari penelitian Balitbang, Daya tangkap materi siswa di Indonesia hanya sekitar 30% dari semua materi yang diajarkan. hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kurangnya kepedulian dalam dunia pendidikan dan juga masih kurangnya pengetahuan para siswa tentang arti sebuah pendidikan.

Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar