Kamis, 24 November 2011

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DAN KEDUDUKAN FILSAFAT DALAM SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA


Sriyani*
Nim. 309122055


Berbicara mengenai pendidikan, yang tergambar di benak kita ialah pendidik (guru), peserta didik (siswa) dan sekolah.  Tidak salah memang jika ketiga komponen tersebut dilibatkan dalam pendidikan.  Namun, pendidikan dapat lebih daripada itu, pendidikan bisa dilaksanakan di luar dari lembaga formal pendidikan.  Pendidikan lebih diarahkan pada suatu proses, adanya proses transmisi ilmu, pengetahuan, nilai-nilai yang mengarah pada perubahan sikap individu ke arah yang lebih baik.  Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 Bab I Pasal I, pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. sedangkan menurut UUSPN No.20 Tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

            Untuk menjadi insan seperti yang diharapkan dalam kedua undang-undang di atas, setiap individu layaknya harus menempuh pendidikan secara formal.  Dan saat ini pemerintah hanya mewajibkan sekolah 9 tahun, itu artinya hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).  Di era modernisasi saat ini, apakah masih layak jika pemerintah hanya mewajibkan sekolah 9 tahun?  Sedangkan untuk menjadi buruh pabrik saja diperlukan tamatan minimal SMA.  Mau dikemanakan mereka yang tidak sekolah atau hanya tamatan SD atau SMP?  Dan apakah kita juga hanya menunduk patuh pada ketetapan pemerintah tanpa harus melihat bagaimana perubahan yang kian cepat di sekitar kita, kian membelenggu pula jiwa-jiwa yang haus akan pengetahuan dan  teknologi.  Perubahan yang terjadi tidak hanya dalam lingkup lokal tetapi sudah mendunia.  Munculnya istilah globalisasi menjadi salah satu bukti terjadinya perubahan besar-besaran yang dirasakan seluruh bangsa di dunia.  Dan tentunya, Indonesia bukanlah negara yang kebal akan perubahan yang menggempur dunia, justru larut di dalamnya.

            Salah satu pranata sosial yang disebut pendidikan juga tidak lepas dari gempuran arus perubahan tersebut, bahkan terkadang membingungkan dan menggelisahkan.  Ariel Heryanto menyebutkan bahwa kaum optimis yang bersorak-sorai menyambut perubahan besar-besaran (industrialisasi) dalm dunia pendidikan mutakhir cenderung memahami persoalan pendidikan terutama sebagai persoalan angka-angka, hal-hal kebendaan, lembaga, proses interaksi indrawi, dan penerapan pengetahuan atau keterampilan dalam dunia kerja industri.  Sekarang pendidikan menjadi jauh lebih tersebar dan terjangkau oleh berbagai kelompok masyarakat di pelosok dunia.  Perbedaan kesempatan bersekolah antara jenis kelamin atau antara desa dan kota sudah jauh lebih baik.  Tidak salah jika ini dianggap sebagai sebuah proses pemerataan dan demokratisasi pendidikan.  Proses belajar-mengajar jauh lebih fleksibel , bahkan menarik berkat berbagai teknologi informasi.  Belajar tidak lagi harus berarti bersusah payah, memencilkan diri, bertahan dalam kebosanan, atau mengerjakan sesuatu yang berulang-ulang, lamban dan rumit.  Dengan komputer dan internet, pendidikan menjadi penuh warna dan pesona.

            Namun ternyata, kemudahan, ketepatan, dan kecepatan proses olah informasi tidak sama dengan peningkatan kecerdasan, kreativitas, apalagi kepekaan anak terhadap masalah-masalah sosial.  Anehnya, berbagai lembaga pendidikan padat teknologi tinggi telah menumbuhkan sebuah ketergantungan baru pada teknologi yang sangat mencemaskan.  Terjadi penyempitan sikap, minat, serta pemahaman persoalan menjadi serba singkat, cepat dan instrumental.  Ditambah lagi dengan rumitnya berbagai peraturan perundang-undanagn serta birokrasi dan alienasi. 

            Jika kita melihat sedikit ke belakang tentang sejarah pendidikaan di Indonesia, tergambar bahwa awalnya pendidikan di Indonesia tumbuh dalam kelembagaan, birokrasi, sumber dana dan daya yang serba pas-pasan.  Namun semua itu diimbangi dengan semangat, dedikasi, selain kebanggaan, gengsi lokal serta nasional, juga ilusi dan ideologi yang tinggi.  Akibat adanya perubahan yang besar-besaran pada masa Orde Baru pendidikan ditempatkan dalam pertumbuhan ekonomi dan industri sebagai prioritas penting.  Dan masa sekarang, pendidikan Indonesia digempur dengan adanya Sekolah Berstandar Internasional.  Berbagai gedung sekolah, perkuliahan, perpustakaan, atau laboratorium gencar dibangun sekarang.  Lama pendidikan semakin diperpendek, proses kelulusan dipermudah (dengan berbagai kecurangan yang dilakukan) dan jumlah lulusan diusahakan meningkat secara berkesinambungan. Universitas-universitas mengalami kesulitan mengatur keuangan, sehingga harus bekerja sama dengan lembaga perbankan.  Proses pendidikan semakin peka dan berkiblat pada pasaran kerja dalam masyarakat yang mendadak sibuk berindustrialisasi.  Ditambah lagi dengan ketidaksiapan para pendidik dalam menjalani / bekerja di Sekolah Berstandar Internasional karena minimal harus menguasai bahasa inggris dalam mentransfer ilmunya.  Akibatnya, pemerintah mau tidak mau harus mendatangkan guru dari luar, terjadi impor tenaga pendidik, ironis bukan?  Atau, bisa jadi sekolah-sekolah China yang ada di Indonesia yang malah justru menjalankan SBI. Karena ketidakmampuan sekolah lokal (yang didirikan orang-orang Indonesia).

      Berdasarkan masalah-masalah pendidikan di atas, ada satu ilmu yang kita lupakan yaitu fisafat. Tidak semua masalah dapat dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah semata-mata. Banyak di antara masalah-masalah kependidikan tersebut yang merupakan pertanyaan-pertanyaan filosofis, yang memerlukan pendekatan filosofis pula dalam pemecahannya. Analisa filsafat terhadap masalah-masalah kependidikan tersebut, dengan berbagai cara pendekatannya, akan dapat menghasilkan pandangan-pandangan tertentu mengenai masalah-masalah kependidikan tersebut, dan atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori-teori pendidikan. Disamping itu jawaban-jawaban yang telah dikemukakan oleh jenis dan aliran filsafat tertentu sepanjang sejarah terhadap problematika pendidikan yang dihadapinya menunjukan pandangan-pandangan tertentu, yang tentunya juga akan memperkaya teori-teori pendidikan. Dengan demikian terdapat hubungan fungsional antara filsafat dengan teori pendidikan.

         Filsafat dalam arti analisa filsafat merupakan salah satu cara pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikannya, disamping menggunakan metode-metode ilmiah lainnya. Sementara itu dengan filsafat, sebagai pandangan tertentu terhadap sesuatu objek, misalnya filsafat idealisme, realisme, materialisme, dan sebagainya,  akan mewarnai pula pandangan ahli pendidikan tersebut dalam teori-teori pendidikan yang dikembangkannya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi dan memberikan bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori yang dikembangkan atas dasar aliran filsafat tersebut. Dengan kata lain, teori-teori dan pandangan –pandangan filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh seorang filosof, tentu berdasarkan dan bercorak serta diwarnai oleh pandangan dan aliran filsafat yang dianutnya.

Filsafat juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan lairan filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata, artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat.

Di samping hubungan fungsional tersebut, antara filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang bersifat suplementer, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Saifullah dalam bukunya: “ Antara Filsafat dan Pendidikan”, sebagai berikut: 1) Filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi mengarahkan pusat perhatiannya dan memusatkan kegiatannya pada dua fungsi tugas normatif ilmiah, yaitu: Kegiatan merumuskan dasar-dasar, dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakiki manusia, serta konsepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral pendidikannya.  2) Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan atau organisasi pendidikan dan metodologi pendidikan dan pengajaran.

Proses yang mengantarkan filsafat menuju ilmu akademis yaitu :
1. Filsafat menjadi disiplin ilmu karena mengarahkan segala usaha menuju kebijaksanaan, sehingga membuat banyak refleksi untuk menemukan akar atau kriteria membedakan kebenaran dari kesalahan, kebaikan dari keburukan, ilusif dari riil.
2. Dari pelbagai refleksi, filsafat juga memahami dirinya sebagai satu bentuk dari cinta, yang membawa manusia melintasi batas-batas pengetahuan tentang sesuatu yang belum atau tidak diketahui sebelumnya. Filsafat menyempurnakan manusia dalam memahami sesuatu dengan lebih mendalam.

Manfaat filsafat, yaitu sebagai berikut :
1. Filsafat memperluas wawasan. Secara alamiah, manusia memiliki rasa ingin tahu, yang rasa ingin tahu itu melahirkan berbagai macam pertanyaan yang menuntut diperolehnya jawaban. Sebuah jawaban dari pertanyaan bukan jawaban akhir, tetapi memunculkan jenis pertanyaan baru dan lain daripada yang lain. Pada saat lain, jawaban yang sudah berbentuk pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain, yang nantinya juga menerbitkan pertanyaan lain, karena pengetahuan itu sendiri memiliki sfat praktis atau pragmatis. Untuk pengetahuan tersebut, filsafat yang terobjekkan menyediakan lapangan filsafat yang sangat luas tanpa batas, yang memancar dari realitas dan non-realitas.
2. Filsafat mengarahkan kepada kebenaran. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Filsafat, Plato, bahwa secara teoretis kebijaksanaan dapat disamakan dengan kebenaran yang merupakan obyek pengetahuan pertama dan utama bagi manusia. Segala bidang disiplin ilmu dan mata pelajaran di dunia pendidikan selalu diajarkan untuk mencapai kebenaran. Jalur untuk mencapai kebenaran adalah pemikiran, kecermatan memperhatikan dan refleksi tentang hidup itu sendiri, dalam mengkorelasikan dirinya dengan peristiwa realitas di dunia ini. Filsafat memberi patokan dan kaidah untuk berpikir bijaksana dan kritis serta bagaimana kita bisa hidup harmonis dengan manusia lainnya. Filsafat mematangkan intelek dan daya pikir. Menurut John Henry Newmann (1801-1890), orang yang pernah belajar filsafat cenderung lebih kuat dan siap untuk mempelajari pengetahuan yang abstrak dan rumit.
3. Filsafat dan Pembentukan Sikap. Mempelajari sesuatu ilmu terkait dengan penerapan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata. Tanpa itu, bisa saja pengetahuan ataupun ilmu itu akan tersimpan dalam khayal dan bisa hilang karena lupa. Filsafat hanya dan akan berkembang  melalui refleksi terus menerus dalam hidup sehari-hari, dengan mengedepankan sikap kerendahan hati, keluhuran budi, kebajikan pekerti, kesiapan berdialog, dan yang sejenisnya.
4. Filsafat dan Perwujudan diri. Seluruh perjalanan filsuf dalam berfilsafat selalu mendambakan akhir kajian berupa perwujudan diri, dengan pribadi yang lebih matang dan bijak. Filsafat harus dilihat sebagai karya seni, suatu estetika dalam upaya pembentukan diri manusia.

Sayangnya, pemahaman terhadap filsafat yang diaplikasikan pada pendidikan di Indonesia masih terbatas pada tingkat perguruan tinggi.  Padahal di beberapa negara di Eropa, seperti Prancis, jerman dan Belanda telah menetapkan filsafat sebaigai mata pelajaran di sekolah menengah.  Pemahaman yang kurang terhadap pemaknaan filsafat membuat kita seringkali mengabaikan ilmu ini dalam menyelesaikan masalah pendidikan.  Padahal, jika ada pendalaman ilmu filsafat mulai dari sekolah menengah hingga pendalaman di tingkat perguruan tinggi akan menguak kembali falsafah bangsa, yaitu Pancasila sebagai suatu pedoman dalam berkehidupan di Indonesia.  Namun, yang sekarang banyak terjadi justru bangsa Indonesia menggunakan pandangan filsafat dari negara lain yang tentunya juga memiliki falsafah hidup yang berbeda.  Sehingga apabila diterapkan di Indonesia belum tentu tepat atau bahkan dianggap tidak cocok sehingga menambah kekisruhan atau menimbulkan masalah baru dalam pendidikan.  Di Indonesia sendiri, sejak kemerdekaan sehingga saat ini, tidak melibatkan filsafat dalam proses penjaringan mahasiswa sarjana, pascasarjana dan doktor.

Sebagai perbandingan sistem pendidikan yang mengalami berbagai perubahan, penulis mengambil salah satu negara di belahan bumi Eropa, yaitu Prancis.  Salah satu hal yang mencolok dalam sistem pendidikan Prancis ialah bahwa filsafat tidak terbatas pada taraf perguruan tinggi, tetapi berperanan juga pada taraf sekolah menengah.  Peran filsafat di sekolah menegngah dianggap begitu luas, filsafat mendapat peluang lebih luas pula di universitas, sebab universitas diharapkan akan menghasilkan banyak guru yang sanggup mengajar fisafat di tingkat sekolah menengah.para filsuf Prancis umumnya mengawali kariernya sebagai guru filsafat di beberapa sekolah menengah mulai di daerah dan akhirnya di salah satu sekolah elite di Paris, sebelum diangkat sebagai dosen di universitas.

Dalam sistem pendidikan Prancis, filsafat diajarkan di beberapa seksi Lycée, tipe sekolah menengah yang mempersiapkan siswa untuk masuk perguruan tinggi, khususnya seksi A yang mempunyai spesialisasi di bidang sastra dan filsafat.  Sejak pembaruan sistem pendidikan di Prancis dalam dasawarsa 70-an, kedudukan filsafat di sekolah menengah tidak aman lagi.  Mula-mula Kementrian Pendidikan cenderung mengurangi jam pelajaran secara drastis.  Namun sebuah kelompok penelitian tentang pengajaran filsafat “Greph” mendesak untuk memperluas pengajaran filsafat di sekolah menengah dan tidak dalam kelas terakhir saja, sebagaimana berlangsung dalam sistem tradisional.  Membatasi pengajaran filsafat pada murid-murid yang berumur 17 atau 18 tahun menurut mereka didasarkan pada prasangka-prasangka idealistis.  Mereka mengadakan beberapa eksperimen dimana filsafat sudah diberikan kepada murid-murid berumur 11-13 tahun.  Mereka juga menuduh pemerintah Prancis bahwa sikap negatif terhadap filsafat itu berasal dari ketakutan, karena filsafat dianggap subversif dengan membina anak-anak muda menjadi orang yang kritis dan mungkin berhaluan kiri.

Berdasarkan hasil aksi “Greph” dan protes-protes dari pihak lain, mentri pendidikan akhirnya meninjau kembali rancangan pembaruan dan tetap mempertahankan filsafat dalam kurikulum Lycée, biarpun hanya untuk tahun terakhir.  Namun dalam perkembangan selanjutnya masa depan filsafat dalam sistem pendidikan Prancis pada taraf pendidikan mnengah maupun perguruan tinggi ternyata tetap rapuh dan tidak menentu.  Ternyata, seperti halnya di banyak negara lain, di Prancis pun pembaruan sistem pendidikan belum mencapai suatu taraf stabil dan dengan itu juga peranan filsafat untuk masa mendatang belum jelas.

Filsafat menyentuh berbagai dimensi hidup manusia, keterbukaan total terhadap realitas hidup, kejujuran hati dan merefleksikan suasana jiwa yang tentram dan damai atas dasar gerak hidup berdasarkan perilaku hukum Tuhan dan hukum horizontal yang disusun oleh dan atas kesepakatan universal umat manusia. Hukum ciptaan Tuhan dan hukum ciptaan manusia tidak dipertentangkan, tetapi diselaraskan melalui renungan filsafat dan pendamaian multi dimensi dalam keluhuran budi pekerti, serta mampu menghubungkan akar masalah manusia dengan jembatan penyelesaiannya secara rasional dan jujur.

Para filsuf meyakini perlunya pendidikan guna mengarahkan manusia agar memiliki kesadaran moral yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain secara lebih luas.  Dengan demikian, karena tingkat pendidikan manusia berpengaruh terhadap persepsinya tentang rasionalitas dan pemikiran dengan kesadarn moral yang penuh rasa tanggungjawab dan kemandirian, maka kematangan diri manusia menjadi landasan dalam pengembangan pengetahuan dan kesadaran filsafat dalam akal budinya. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan manusia semakin sesuai untuk menerima siraman filsafat dikarenakan adanya kecintaan hatinya yang mendorongnya berjalan kepada mencari kebenaran yang belum maupun sudah tersingkap, dengan tetap menegaskan bahwa manusia berpendidikan rendah juga kadangkala mampu berfikir rasional dan jujur.


*Mahasiswa Semester V Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan


Sumber :

Abizar dan Munawwarah.  2011. Hubungan Filsafat dan Pendidikan.  Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Surien-Banda Aceh.

Bertens, K.  2006.  Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Hamalik, Oemar.  2010.  Kurikulum dan Pembelajaran.  Jakarta : Bumi Aksara.

Heryanto, Ariel. 2001. Industrialisasi Pendidikan, Berkah, Tantangan, atau Bencana bagi Indonesia?. Yogyakarta : Kanisius.

Su’ud, Abu. 2011.  Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan Tinggi. Program Pascasarjana Program Studi Manajemen Pendidikan Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Ikip PGRI Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar